Ploso
Dialah
Mas’ud, yang mendapat julukan Blawong dari KH. Zainuddin. Kelak dikemudian
hari ia lebih dikenal dengan nama KH. Achmad Djazuli Utsman, pendiri dan
pengasuh I Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri.
Diam-diam
KH. Zainuddin memperhatikan gerak-gerik santri baru yang berasal dari Ploso
itu. Dalam satu kesempatan, sang pengasuh pesantren bertemu Mas’ud
memerintahkan untuk tinggal di dalam pondok.
“Co,
endang ning pondok!”
“Kulo
mboten gadah sangu, Pak Kyai.”
“Ayo,
Co…mbesok kowe arep dadi Blawong, Co!”
Mas’ud
yang tidak mengerti apa artinya Blawong, hanya diam saja. Setelah tiga kali
meminta, barulah Mas’ud menurut perintah Kyai Zainuddin untuk tinggal di
dalam bilik pondok. Sejak itulah, Mas’ud kerap mendapat julukan Blawong.
|
Ternyata Blawong adalah burung perkutut mahal yang
bunyinya sangat indah dan merdu. Si Blawong itu dipelihara dengan mulia di
istana Kerajaan Bawijaya. Alunan suaranya mengagumkan, tidak ada seorang pun
yang berkata-kata tatkala Blawong sedang berkicau, semua menyimak suaranya.
Seolah burung itu punya karisma yang luar biasa.
Ia lahir di awal abad XIX, tepatnya tanggal 16 Mei
1900 M. Ia adalah anak Raden Mas M. Utsman seorang Onder Distrik (penghulu
kecamatan). Sebagai anak bangsawan, Mas’ud beruntung, karena ia bisa mengenyam
pendidikan sekolah formal seperti SR, MULO, HIS bahkan sampai dapat duduk di
tingkat perguruan tinggi STOVIA (Fakultas Kedokteran UI sekarang) di Batavia.
Belum lama Mas’ud menempuh pendidikan di STOVIA, tak
lama berselang Pak Naib, demikian panggilan akrab RM Utsman kedatangan tamu,
KH. Ma’ruf (Kedunglo) yang dikenal sebagai murid Kyai Kholil, Bangkalan
(Madura).
“Pundi Mas’ud?” tanya Kyai Ma’ruf.
“Ke Batavia. Dia sekolah di jurusan kedokteran,”
jawab Ayah Mas’ud.
“Saene Mas’ud dipun aturi wangsul. Larene niku
ingkang paroyogi dipun lebetaken pondok (Sebaiknya ia dipanggil pulang. Anak
itu cocoknya dimasukan ke pondok pesantren),” kata Kyai Ma’ruf.
Mendapat perintah dari seorang ulama yang sangat
dihormatinya itu, Pak Naib kemudian mengirim surat ke Batavia meminta Mas’ud
untuk pulang ke Ploso, Kediri. Sebagai anak yang berbakti ia pun kemudian
pulang ke Kediri dan mulai belajar dari pesantren ke pesantren yang lainnya
yang ada di sekitar karsidenan Kediri.
Mas’ud mengawali masuk pesantren Gondanglegi di
Nganjuk yang diasuh oleh KH. Ahmad Sholeh. Di pesantren ini ia mendalami
ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an, khususnya tajwid dan kitab Jurumiyah
yang berisi tata bahasa Arab dasar (Nahwu) selama 6 bulan.
Setelah menguasai ilmu Nahwu, Mas’ud yang dikenal
sejak usia muda itu gemar menuntut ilmu kemudian memperdalam pelajaran
tashrifan (ilmu Shorof) selama setahun di Pondok Sono (Sidoarjo). Ia juga
sempat mondok di Sekarputih, Nganjuk yang diasuh KH. Abdul Rohman. Hingga
akhirnya ia nyantri ke pondok yang didirikan oleh KH. Ali Imron di Mojosari,
Nganjuk dan pada waktu itu diasuh oleh KH. Zainuddin.
KH. Zainuddin dikenal banyak melahirkan ulama besar,
semacam KH. Wahhab Hasbullah (Pendiri NU dan Rais Am setelah KH. Hasjim
Asy’ari), Mas’ud yang waktu itu telah kehabisan bekal untuk tinggal di dalam
pondok kemudian mukim di langgar pucung (musala yang terletak tidak jauh
pondok).
Selama di Pondok Mojosari, Mas’ud hidup sangat
sederhana. Bekal lima rupiah sebulan, dirasa sangat jauh dari standar kehidupan
santri yang pada waktu rata-rata Rp 10,-. Setiap hari, ia hanya makan satu
lepek (piring kecil) dengan lauk pauk sayur ontong (jantung) pisang atau daun
luntas yang dioleskan pada sambal kluwak. Sungguh jauh dikatakan nikmat apalagi
lezat.
Di tengah kehidupan yang makin sulit itu, Pak Naib
Utsman, ayah tercinta meninggal. Untuk menompang biaya hidup di pondok, Mas’ud
membeli kitab-kitab kuning masih kosong lalu ia memberi makna yang sangat jelas
dan mudah dibaca. Satu kitab kecil semacam Fathul Qorib, ia jual Rp
2,5,-(seringgit), hasil yang lumayan untuk membiayai hidup selama 15 hari di
pondok itu.
Setelah empat mondok di Mojosari, Mas’ud kemudian
dijodohkan dengan Ning Badriyah putri Kyai Khozin, Widang, Tuban (ipar Kyai
Zainuddin). Namun rupa-rupanya antara Kyai Khozin dan Kyai Zainuddin saling
berebut pengaruh agar Mas’ud mengajar di pondoknya. Di tengah kebingungan
itulah, Mas’ud berangkat haji sekaligus menuntut ilmu langsung di Mekkah.
H. Djazuli, demikian nama panggilan namanya setelah
sempurna menunaikan ibadah haji. Selama di tanah suci, ia berguru pada Syeikh
Al-‘Alamah Al-Alaydrus di Jabal Hindi. Namun, ia di sana tidak begitu lama,
hanya sekitar dua tahun saja, karena ada kudeta yang dilancarkan oleh kelompok
Wahabi pada tahun 1922 yang diprakasai Pangeran Abdul Aziz As-Su’ud.
Di tengah berkecamuknya perang saudara itu, H.
Djazuli bersama 5 teman lainnya berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah.
Sampai akhirnya H. Djazuli dan kawan-kawannya itu ditangkap oleh pihak keamanan
Madinah dan dipaksa pulang lewat pengurusan konsulat Belanda.
Sepulang dari tanah suci, Mas’ud kemudian pulang ke
tanah kelahirannya, Ploso dan hanya membawa sebuah kitab yakni Dalailul
Khairat. Selang satu tahun kemudian, 1923 ia meneruskan nyantri ke Tebuireng
Jombang untuk memperdalam ilmu hadits di bawah bimbingan langsung Hadirotusy
Syekh KH. Hasjim Asya’ri.
Tatkala H. Djazuli sampai di Tebuireng dan sowan ke
KH. Hasjim Asya’ri untuk belajar, Al-Hadirotusy Syekh sudah tahu siapa Djazuli
yang sebenarnya, ”Kamu tidak usah mengaji, mengajar saja di sini.” H. Djazuli
kemudian mengajar Jalalain, bahkan ia kerap mewakili Tebuireng dalam bahtsul
masa’il (seminar) yang diselenggarakan di Kenes, Semarang, Surabaya dan
sebagainya.
Setelah dirasa cukup, ia kemudian melanjutkan ke
Pesantren Tremas yang diasuh KH. Ahmad Dimyathi (adik kandung Syeikh Mahfudz
Attarmasiy). Tak berapa lama kemudian ia pulang ke kampung halaman, Ploso. Sekian
lama Djazuli menghimpun “air keilmuan dan keagamaan”. Ibarat telaga, telah
penuh. Saatnya mengalirkan air ilmu pegetahuan ke masyakrat.
Dengan modak tekad yang kuat untuk menanggulangi
kebodohan dan kedzoliman, ia mengembangkan ilmu yang dimilikinya dengan jalan
mengadakan pengajian-pengajian kepada masyarakat Ploso dan sekitarnya. Hari
demi hari ia lalui dengan semangat istiqamah menyiarkan agama Islam.
Hal ini menarik simpati masyakarat untuk berguru
kepadanya. Sampai akhirnya ia mulai merintis sarana tempat belajar untuk
menampung murid-murid yang saling berdatangan. Pada awalnya hanya dua orang,
lama kelamaan berkembang menjadi 12 orang. Hingga pada akhir tahun 1940-an,
jumlah santri telah berkembang menjadi sekitar 200 santri dari berbagai pelosok
Indonesia.
Pada jaman Jepang, ia pernah menjabat sebagai wakil
Sacok (Camat). Di mana pada siang hari ia mengenakan celana Goni untuk
mengadakan grebegan dan rampasan padi dan hasil bumi ke desa-desa. Kalau malam,
ia gelisah bagaimana melepaskan diri dari paksaan Jepang yang kejam dan biadab
itu.
Kekejaman dan kebiadaban Jepang mencapai puncaknya
sehingga para santri selalu diawasi gerak-geriknya, bahkan mereka mendapat
giliran tugas demi kepentingan Jepang. Kalau datang waktu siang, para santri
aktif latihan tasio (baris berbaris) bahkan pernah menjadi Juara se-Kecamatan
Mojo. Tapi kalau malam mereka menyusun siasat untuk melawan Jepang. Demikian
pula setelah Jepang takluk, para santri kemudian menghimpun diri dalam barisan
tentara Hisbullah untuk berjuang.
Selepas perang kemerdekaan, pesantren Al-Falah baru
bisa berbenah. Pada tahun 1950 jumlah santri yang datang telah mencapai 400
santri. Perluasan dan pengembangan pondok pesantren, persis meniru kepada
Sistem Tebuireng pada tahun 1923. Suatu sistem yang dikagumi dan ditimba Kyai
Djazuli selama mondok di sana.
Sampai di akhir hayat, KH. Ahmad Djazuli Utsman
dikenal istiqomah dalam mengajar kepada santri-santrinya. Saat memasuki usia
senja, Kyai Djazuli mengajar kitab Al-Hikam (tasawuf) secara periodik setiap
malam Jum’at bersama KH. Abdul Madjid dan KH. Mundzir. Bahkan sekalipun dalam
keadaan sakit, beliau tetap mendampingi santri-santri yang belajar kepadanya.
Riyadloh yang ia amalkan memang sangat sederhana namun mempunyai makna yang
dalam. Beliau memang tidak mengamalkan wiridan-wiridan tertentu. Thoriqoh Kyai
Djazuli hanyalah belajar dan mengajar “Ana thoriqoh ta’lim wa ta’allum,”katanya
berulangkali kepada para santri.
Hingga akhirnya Allah SWT berkehendak memanggil sang
Blawong kehadapan-Nya, hari Sabtu Wage 10 Januari 1976 (10 Muharam 1396 H).
Beliau meninggalkan 5 orang putra dan 1 putri dari buah perkawinannya dengan
Nyai Rodliyah, yakni KH. Achmad Zainuddin, KH. Nurul Huda, KH. Chamim (Gus
Miek), KH. Fuad Mun’im, KH. Munif dan Ibu Nyai Hj. Lailatus Badriyah. Ribuan
umat mengiringi prosesi pemakaman sosok pemimpin dan ulama itu di sebelah
masjid kenaiban, Ploso, Kediri.
Konon, sebagian anak-anak kecil di Ploso, saat
jelang kematian KH. Djazuli, melihat langit bertabur kembang. Langit pun seolah
berduka dengan kepergian ‘Sang Blawong’ yang mengajarkan banyak keluhuran dan
budi pekerti kepada santri-santrinya itu.
Masa
Menuntut Ilmu Agama
Hijrah Ke Pesantren
Mas’ud sudah resmi menetap di Batavia. Dari tempat
yang jauh itu terkadang ia terbayang kampung halamannya. Teringat akan ayah
ibunya, saudara‑saudaranya
atau teman sebayanya. Dalam hati ia bertekad tak akan mengecewakan harapan
orang tuanya. “Daku harus belajar dengan sungguh‑sungguh, aku harus berhemat agar orang tuaku tak
memikul beban yang berat, aku harus pulang sukses, dengan menggondol nama
kebesaran Dr. Mas Mas’ud Utsman. ” Pernyataan itulah yang selalu dicamkan dalam
hatinya. la membayangkan betapa bangga dan bahagianya kedua orangtua dan
saudara‑saudaranya
bila kelak dirinya sukses menjadi seorang Sarjana, keluarganya akan turut
terhormat.
Tiba‑tiba
sepucuk surat datang. Sebuah surat dari Ploso. Kabar apa gerangan yang
disampaikan oleh keluarganya dalam surat tersebut. Sebagaimana lazimnya seorang
mahasiswa yang jauh dirantau, hatinya dag‑dig‑dug
harap‑harap
cemas, karena tak mampu menahan rasa penasaran.
Isi surat itu sungguh diluar dugaan, Mas’ud diminta
segera pulang ke Ploso, padahal kehadirannya di Batavia belumlah lama.
Pak Naib beserta istri tengah menunggu kedatangan
anaknya di Ploso. Dari hari ke hari sejak surat telah terkirim pasangan suami
istri itu terus menunggu dengan sabar. Akhimya datang juga yang ditunggu‑tunggu.
Mas’ud merasa lega dan bahagia berada kembali di
tengah‑tengah
keluarganya, demikian pula kedua orang tuanya merasa bersyukur nienerima
kedatangan anaknya dengan selamat. Pak Naib tahu kalau Mas’ud sangat lelah
diperjalanan, oleh karena itu disuruhnya makan terlebih dahulu dan kemudian
istirahat secukupnya. Rasanya belum pantaslah untuk melakukan pembicaraan
serius dalam kondisi lelah seperti itu. Namun diam‑diam sebenarnya kedua orang tua itu menyimpan tanda
tanya besar yang belum terjawab. Bagaimanakah perasaan Mas’ud dengan
digagalkannya kuliah di Fakultas Kedokteran? Tidakkah anak itu kecewa atau
putus asa? Dan macam‑macam
peraasan berkecamuk di hati kedua orang tua itu.
Akan tetapi keduanya telah mantap dalam mengambil
keputusan bahwa saran Kyai Ma’ruf mesti dilaksanakan dan tak dapat ditawar‑tawar. Doa selalu
dipanjatkannya kepada Allah semoga Mas’ud diberi‑Nya petunjuk untuk menerima kebenaran.
Kemudian setelah semuanya merasa tenang, Pak Naib,
Bu Naib dan Mas’ud duduk bersama, layaknya bagaikan sidang kecil‑kecilan. “Ada yang
perlu kita bicarakan,” begitulah Pak Naib & mengawali pembicaraan. Lalu Pak
Naib menceritakan apa yang teriadi selama Mas’ud tidak ada di rumah. Bahwa Kyai
Ma’ruf tidak nienyetujui perihal kuliahnya di Fakultas Kedokteran, Orang tua
itu menjelaskan keinginan nya agar Mas’ud melepaskan cita-citanya untuk menjadi
dokter. Kini dia harus pindah kedunia baru, dunia Pondok Pesantren. Mas’ud
terdiam sambil merunduk hormat, tetapi dalam benaknya dia tengah memikirkan
jawaban apa yang akan disampaikannya. Rasanya tak mungkin dia akan membantah
keinginan orang tuanya, lebih‑lebih
pencetusnya adalah Kyai Ma’ruf seorang ‘ulama yang disegani oleh setiap orang
termasuk Pak Naib serta Mas’ud sendiri. Apalagi sebagai anak yang berbakti
kepada ibu bapaknya tak akan ada pilihan lain kecuali menyerah sebulat‑bulatnya mentaati apa
yang diperintahkan kedua orang tuanya.
Kemudian Mas’ud menjawab dengan pasti tanpa ada
keraguan, dia tak keberatan dengan kehendak orang tuanya. Suatu jawaban yang
tulus ikhlas bukan atas dasar keterpaksaan.
Pak Naib dan Bu Naib sangat terharu dan senang.
Alhamdulillah, gayung telah bersambut. Seketika itu beliau terkenang kemballi
kepada nasihat‑nasihat
Kyai Ma’ruf. Dahulu Kyai itulah yang menganjurkan kepadanya untuk rajin‑rajin bersilaturohmi
dengan pari ‘ulama agar anaknya menjadi orang alim, Ialu Kyai itu pula yang
menganjurkan Mas’ud untuk pindah ke Pesantren. Harapan-harapannya sebagai orang
tua diwarnai perasaan optimis, mungkin Mas’ud inilah yang akan muncul sebagai
kenyataan dari firasat Kyai Ma’ruf. Pak Naib hanyut dengan perasaannya sendiri,
dalam hati beliau berdo’a semoga anaknya benar‑benar menjadi anak yang sholeh, berilmu dan beramal.
Sehingga kelak dihari akhirat anak ini akan tampil sebagai penolong dari segala
kesulitin yang menimpa. Beliau terus berdo’a dan berdo’a.
Bagaimana dengan Mas’ud? Kecewakah ia ? Cengsi kah ia
dikatakan dokter droup out? Tidak! Tidak sania sekali, Mas’ud h.ukan anak kecil
lagi. Dia sudah etikup de‑wasa
menghadapi berbagai persoalan. Dia percaya orang tuanya punya niat yang baik,
cinta dan kasih orang tuanya tak pernah diragukannya. “Ridlo orang tua jaminan
kesuksesan,” begitu semboyannya. Dia nampak sangat siap untuk segera memasuki
pintu gerbang Pondok Pesantren.
***
Mas’ud memasuki dunia Pondok Pesantren setelah
menginjak dewasa, usianya sudah mencapai hampir 16 tahun. Tetapi pemuda yang
selalu haus dahaga akan ilmu pengetahuan itu bergumam It’s never late to learn
(Tak ada istilah terlambat untuk belajar). Bukankah Rasulullah Saw telah
bersabda :
اطلب العلم من المهد الى اللحد
“Tuntutlah ilmu sejak
dari buaian ibu sampai ke liang lahad.” Nabi Muhammad Saw telah mencanangkan
Long life education jauh sebelum dunia barat menemukannya.
Dengan ucapan bismillahirrohmannirrohim berangkatlah
ia ke Pondok Gondanglegi diantarkan Pak Naib dengan mengendarai dokar yang
ditarik si Konang. Maka resmilah Mas’ud diterima sebagai murid KH Ahmad Sholeh
Condanglegi Nganjuk, seorang ulama yang terkenal alim dalam bidang ulumul
qur’an.
Di Pondok inilah Mas’ud mendalami ilmu‑ilmu yang berkaitan
dengan Al-Qur’an khususnya tajwid disamping ia juga belajar kitab Al‑Ajrumiyah pelajaran
tata bahasa Arab tingkat dasar dan lebih dikenal dengan nama ilmu Nahwu.1
Perlu diketahni bahwa ada sesuatu yang ajaib yang
hanya dapat dirasakan oleh orang‑orang
yang belajar ilmu agama dengan penuh kesungguhan disertai dengan himmah yang
tinggi. Ketika telah diperoleh kefahaman, kemudian ilmu itu masuk ke dalam
dada, meskipun cuma setetes terasa nikmat luar biasa, tenang dan tenteram
terasa dihati, seolah‑olah
perkara lain tak ada artinya sama sekali. Sangat berbeda dengan belajar ilmu‑ilmu dunia saja, kian
menumpuk pengetahuan yang didapat malahan seringkali mendatangkan kegelisahan.
Terbayanglah ijazah, terbayanglah gelar, kekuasaan, kemewahan dan istri cantik.
Dan tatkala ilmu‑ilmu
dunia telah sampai pada klimaksnya, jadilah pemiliknya seorang pakar yang
dikagumi. Lambat laun sang pakar merasakan kehebatan dirinya, terkadang
dianggaplah dirinya sebagai The best (yang terbaik) dan tak terkalahkan lagi
sedangkan orang lain dianggap sepele dan bodoh. Itulah awal kesombongan dan
keangkuhan yang membawa kesesatan. Tidak jarang yang akhirnya tergelincir tidak
menjalankan ibadah lupa pada Tuhan.
Agaknya sejak di Gondanglegi Mas’ud sudah merasakan
nikmat dan lezatnya ilmu agama, dia telah mabuk kepayang di lautan ilmu Allah
yang tidak mengenal batas. Bukankah sebelum masuk Pesantren dia telah mengalami
bagaimana rasanya menjadi pelajar dan mahasiswa? dipuja dan disanjung oleh
orang lain. Semua itu tak ada artinya sama sekali apabila dibandingkan dengan
kenikmatan yang dirasakan di Pesantren.
Diapun berjanji dalam hati untuk bersungguh-sungguh
menekuni pelajaran. Konon, selama belajar di Pondok Mas’ud tak pernah tidur
dengan sengaja. la hanya tidur apabila tertidur. Hampir seluruh waktunya untuk
belajar dan terus belajar. Itulah sebabnya dia sudah mampu menguasai ilmu‑ilmu Al-Qur’an dan
kitab Al‑Ajrumiyah
hanya dalam tempo 6 bulan saja.2)
***
Dasar ilmu Nahwu sudah dikantonginya di Gondanglegi.
la ingin mencari lagi dasar ilmu shorof, sebab ada makalah yang mengatakan
Nahwu adalah apak ilmu pengetahuan sedang shorof adalah ibunya. Berarti Mas’ud
baru berhasil meraih bapak ilmu, pantaslah kalau ia segera pamit dari
Gondanglegi untuk selanjutnya belajar di Pondok Sono‑Sidoarjo.3) Pondok kedua yang dimasukinya ini sangat
terkenal menonjol dalam bidang ilmu shorof khususnya pelajaran Tashrifan, Di
Pondok inilah Mas’ud khusus belajar tashrif. Tidak didapatkan keterangan yang
pasti mengenai. berapa lama ia belajar di Pondok ini, yang jelas tidak sampai
setahun.
Akhirnya ia kembali lagi ke daerah Nganjuk ingin
melanjutkan di Pondok Mojosari, berguru kepada Kyai Zainuddin yang sangat
masyhur dimasa itu. Namun sebelumnya dia sempat mondok di Sekarputih Nganjuk
untuk beberapa lama menimba ilmu dari KH Abdul Rohman pengasuh pondok tersebut.
Pemuda Mas’ud sang pendatang baru di dunia Pondok Pesantren ini nampaknya benar‑benar haus akan ilmu
agama, ia ingin mengejar ilmu dimanapun berada dari satu tempat ke tempat yang
lain. Bagaikan seorang pemburu yang tak mengenal ngarai, tebing dan jurang.
Mojosari
Penuh Kenangan
Mengiktiti kisah panjang perjalanan hidup pemuda
Mas’ud belumlah lengkap kalau tidak mengungkap cerita Pondok Mojosari sekaligus
Kyai Zainuddin pengasuhnya, karena dipondok inilah Mas’ud menemui jati dirinya
sebagai calon ulama dikemudian hari. Ke pondok inilah dia melanjutkan
petualangan mencari ilmu setelah dari Gondanglegi, Sono dan Sekarputih. Dari
tujuh pondok yang disinggahinya selama hidup pondok inilah yang paling lama ia
huni. Sampai akhirnya ia mempersunting putri angkat Kyai Zainuddin guru utamanya.
Apabila anda hanya menggunakan akal, mungkin tak akan percaya kalau Pondok
Mojosari telah menelorkan banyak ulama. Apalagi kita hanya memandang lewat
kacamata sistem pendidikan modern belaka.
Pondok berusia tua yang didirikan oleh KH. Ali Imron
beratus‑ratus
tahun yang lampau ini memang tergolong cukup antik dan aneh (kontroversial).
Bila anda datang bertamu kesana mungkin akan merasa kaget atau asing.
Seringkali ada tamu atau santri baru yang datang langsung disambut oleh para
santri Mojosari, Ialu digendong beramai‑ramai sambil dibacakan sholawat. Bila santri barit
ini berani membalas dengan kata‑kata
kontan dimasukkan kedalam kamar dan diambilkan pentung, kemudian penggojlokan
dilanjutkan. Tidak main‑main
apabila masih berani juga bisa dipentung sungguhan sampai tunduk.4)
Oleh‑oleh
berupa rokok, jajan atau uang recehan tak segan‑segan diminta oleh santri dan dikeroyok dibagi rata
beramai‑ramai.
Saat penulis mengadakan penelitian ke pondok ini, suasana semacam itu masih
terjadi.
Banyak tamu menjadi malu, jengkel bahkan marah,
sehingga mengadukan hal ini Iangsung kepada Kyai. Pada zaman Kyai Zainuddin’
masih memangku pondok, beliau sering memarahi santrinya yang bertingkah kurang
etis tersebut, bahkan sampai memukul‑mukul
dengan tongkat. Akan tetapi tradisi itu tak pernah sembuh, hanya sempat
berkurang dan kambuh lagi. Akhirnya Kyai pasrah menganggapnya sebagai suatu
suratan pembawaan dari pondok Mojosari. “Biarkah saja mereka nakal, ibarat padi
mereka inasih muda wajarlah kalau tengadah, nanti jika mereka sudah berisi akan
merunduk dengan sendirinya,” begitu ungkapan beliau.5)
Namun santri Mojosari mengaku bahwa sama sekali tak
ada maksud negatif apalagi akan menyakiti kepada para tamu atau santri baru,
gojlokan hanyalah suatu tradisi yang maksudnya untuk melatih kesabaran dan
memperkuat mental dalam menerima cobaan. Sebagaimana layaknya perpeloncoan
untuk mahasiswa baru di universitas.
Suasana setiap hari di Pondok Mojosari sangat
berbeda dengan pondok‑pondok
Salafiyah pada umumnya. Di pondok ini tidak nampak santri‑santri tekun belajar,
melakukan riyadloh atau tirakat puasa, ngrowot, mutihan dan sebagainya. Banyak
santri yang bergerombol bersenda gurati, ngobrol dengan bebas, yang penting
mereka mengaji dengan tertib dan rajin sholat berjamaah.
Namun bukan berarti permasalahan ukhuwah sesama
santri diabaikan. Bahkan suasana keakraban dan persamaan nasib nampak sangat
menonjol. Tidak ada seorang santripun dapat menyimpan jajan untuk dimakan besok
pagi, semuanya mesti dibagi‑bagi.
Ada lagi yang lebih antik, pada zaman dahulu belum
ada fasilitas kamar mandi dan WC, jadi para santri seluruhnya mandi ke sungai.
Sudah lumrah bagi santri Mojosari apabila telanjang bulat dari kamarnya
bergerombol menuju sungai, padahal santri‑santri pada zaman itu sudah besar‑besar, suatu
pemandangan yang sungguh mengerikan. Terkadang mereka ke sungai sambil mencari
ikan dan tentu saja hasilnya buat dimakan keroyokan. Solidaritas (persaudaraan)
sesama santri tidak hanya sampai disitu, sudah menjadi kebiasaan pula apabila
mereka merokok terjadilah salome (satu batang ramai‑ramai) dan banyak lagi contoh yang lain.6)
***
Keantikan Pondok Mojosari ini ada asal usulnya.7)
Alkisah, KH Ali Imron asal Grobogan Purwodadi Semarang tatkala masih muda pergi
berguru kepada Kyai Salimin di Lasem Jawa Tengah. Suatu malam Kyai Salimin
keluar melihat‑lihat
santrinya yang tengah nyenyak tidur dilokasi pondok. Tiba‑tiba beliau melihat
pancaran sinar yang keltiar dari balik sarung seorang santri. Beliau mendekati
santri tersebut dan sarungnya diikatkan, Ialu esok paginva semua santri
ditanya. Ternyata si empunya sinar adalah Ali Imron. Oleh karena itu setelah
dirasa cukup ilmu yang diperoleh Kyai Salimin memilihnya menjadi menantu dan
menugaskannya untuk membuka hutan di daerah Nganjuk dan kemudian didirikan
Pondok Pesantren yang tak lain adalah Pondok Mojosari sekarang ini.
Demi pengabdian kepada ilmu dan ta’dzim kepada
gurunya, Kyai Ali Imron berangkat menuju lokasi yang diperintahkan. Dijalaninya
tirakat luar biasa sampai bertahun‑tahun
lamanya di tengah hutan belantara yang sangat angker. Menghadapi para penghuni
rimba raya yang terdiri dari macan, ular jin dan hantu bukan perkara yang
ringan. Rupanya Kyai Ali Imron sangat dekat dengan Allah Sang pemilik hutan dan
jagat raya, sehingga tak satupun makhluk jahat yang sanggup merintanginya dan
akhirnya sukseslah beliau mengemban amanat guru sekaligus mertuanya. Tirakatnya
benar‑benar
mengeluarkan daya kekuatan bathin yang luar biasa dan doa‑doanya sangat makbul.
Di tengah‑tengah
tirakat yang amat berat itulah beliau mengucapkan rangkaian kalimat nadzar.
“Santri‑santri
yang belajar di Pondok ini kelak, tak perlu puasa dan tirakat macam‑macam, seluruh tirakat
aku yang menanggung. Pokoknya mereka mau mengaji dengan tekun disini, Insya
Allah diberkahi”. Sebuah nadzar yang makbul dan menjadi kenyataan dikemudian
hari.
Mantapnya keyakinan para santri Mojosari akan
keampuhan nadzar Kyai Ali Imron lambat laun membawa warna lain di Pondok
Mojosari. Para santri benar‑benar
tidak menjalani tirakat semata‑mata
mengandalkan tirakatnya sang pendiri pondok. Ciri khas ini terus
berkesinambungan dari generasi ke generasi sampai sekarang. Tak terkecuali pada
priode kepemimpinan KH. Zainuddin, tatkala Mas’ud menuntut ilmu di pondok
tersebut.
Siapakah
kyai zainuddin?
KH. Zainuddin berasal dari Padangan Bojonegoro ‑ jatim dimasa mudanya
ia belajar di Pondok Langitan Babat, Sudah menjadi tradisi yang baik di
kalangan para ulama untuk menjodohkan putrinya dengan santri‑santri berbobot.,
Begitu pula dengan Kyai Zainuddin, karena prestasinya yang menonjol beliau Ialu
dijadikan menantu oleh gurunya, kemudian diutus untuk meneruskan kepemimpinan
Pondok Mojosari.
Beliau tampil pada urutan kelima sebagai pengasuh
terhitung dari KH Ali Imron sang pendiri pondok. Berkat kepribadian dan
kepemimpinan Kyai Zainuddin yang agung nama pondok Mojosari melejit ke segenap
penjuru.
Beliau dikenal oleh masyarakat sebagai waliyulloh,
namun aktivitas sehari‑harinya
tak beda dengan petani-petani desa yang bersahaja, karomahnya tak pernah dibuat
pameran. Bahkan beliau lebih nampak sebagai seorang ulama syari’ah yang kokoh,
tugas‑tugasnya
dijalankan dengan disiplin dan istiqomah. Setelah selesai mengajar di malam
hari, sekitar pukul 22.00 beliau istirahat dan bangun jam 02.00 akhir malam,
beliau menjalankan tahajjud, tilawatil Qur’an dan lain‑lain, mendekatkan diri kepada Allah Swt sampai
menjelang shubuh. Terkadang selepas ibadah tengah malam, beliau keluar dari
rumah mungkin sebagai refreshing dari rasa penat. Lalu beliau berputar‑putar di sekitar pekarangan
yang dipadati dengan pohon buah‑buahan.
Beliau mengumpulkan sawo, jambu dan sebagainya yang jatuh akibat bosok atau
sisa kelelawar. Makanan itu cukup Iezat untuk sarapan ternaknya besok pagi.
Tatkala fajar menyingsing beliau berkeliling membangunkan santri di Pondok,
disebutnya nama masing‑masing
santri yang dibangunkannya. Begitu banyak nama santri yang mampu beliau hafal.
Apabila musini dingin telah tiba, biasanya santri agak sulit bangun pagi, untuk
mengatasinya Kyai Zainuddin tak pernah kehilangan taktik. Beliau keliling
membawa wadah air dan selembar serbet. Serbet yang sudah dibasahi itu kemudian
ditempelkannya atau diteteskan airnya ke tubuh siapa saja yang belum bangun,
tak peduli tamu atau bukan. Beliau memang memiliki sifat humor sehingga santri‑santri menjadi sangat
akrab dengannya. Santri yang terkejut merasakan tetesan air sangat dingin itu
mulai bergerak bangun, namun lucunya Kyai Zainuddin dengan sigap segera
bersembunyi di balik pintu tak beda dengan anak‑anak yang bermain kucing‑kucingan. Apabila si santri merapikan kembali
selimut atau sarungnya, karena enggan bangun, dengan sangat sabar beliau
mengulangi tetesan-tetesan berikutnya sampai akhirnya si santri bangun dengan
sendirinya. Untuk santri‑santri
yang masih juga membandel diteteskannya minyak tanah dari sumbu lampu kaleng
bekas yang dipergunakan para santri zaman listrik belum menyebar itu. Si
santripun bisa marah seketika sambil berteriak: “Wo nakal ! Mbeling nganggo
lengo gas.”
Dan si santri hanya bisa tersenyum tersipu‑sipu malu ketika tahu
pelakunya adalah Kyai yang mengajak sholat. Begitu juga ketika adzan Dhuhur
berkumandang Kyai Zainuddin naik ke masjid lebih awal dan dengan penuh
kesabaran beliau memanggil‑manggil
santrinya selama hampir satu jam. “Ayo sholat Co, Ayo sembahyang Co,” seru
beliau berulang‑ulang.
8)
Pengajian yang beliau asuh amat banyak, dari kitab
kecil sampai yang besar. Usai pengajian di pagi hari beliau mengganti pakaian
dan memegang sapu. Disapunya halaman, kandang sapi, kandang kambing, ayam,
bebek dan kuda. Beliau sangat suka memelihara binatang dari sapi sampai kucing,
seakan‑akan
rumahnya mirip kebun binatang. Walaupun ada pembantu yang bertugas merawat dan
memberi makan binatang‑binatang
peliharaannya, beliau sendiri turun tangan membagi‑bagi makanan menunjukkan bahwa Kyai ini benar‑benar seorang penyayang
binatang. Kedisiplinannya pada kebersihan sungguh mengagumkan, sehingga
kandang-kandang binatang itu tak terkesan kotor sama sekali, apalagi halaman
atau kamar-kamar rumahnya.
Adalah budi pekerti yang pantas diteladani
disaat-saat kita sebagai umat Muhammad merasa bangga punya agama yang
menjunjung kesucian dan kebersihan. Akan tetapi rumah kita lebih kotor dari
orang Majusi. Kita gantung kaligrafi bertuliskan sabda Nabi Saw
النَّظَفَةُ مِنَ اْلاِيْمَانِ
Namun sampah berserakan dibawahnya. Kyai Zainuddin
tidak hanya pandai menganjurkan sunah Rosul, tetapi beliau praktekkan sendiri
dalam kehidupan, sesuai dengan nasihat yang sering disampaikannya kepada para
santri Co, ojo Iali karo ayat :
أَتَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ
(Apakah kamu perintah orang lain untuk berbuat baik,
padahal kamu melupakan dirimu sendiri)
Syariat Islam dijalankannya dengan nyata dan
konsekuen. Untuk keperluan hidup sehari‑hari beliau mengolah tanah pertanian secukupnya,
beliau sendiri sering memegang pacul menanam singkong, jagung atau pisang.
Beliau tidak menunjukkan tingkah khoriqul ‘adah dihadapan masyarakat.9)
Akan tetapi sepandai‑pandai menyimpan durian, tercium juga baunya. Begitu
juga halnya Kyai Zainuddin, banyak ulama arif mengakui kewaliannya. Pada suatu
ketika KH Hasyim Asy’ari (Pendiri dan Rois Akbar NU) membuat surat edaran untuk
meluruskan acara perayaan Maulid Nabi, berhubung Mauludan di Pondok Mojosari
dinilai kurang Islami. Konon para santri Mojosari mengadakan pertunjukan wayang
wong, kuda lumping, pencak, ketoprak dan sebagainya untuk memeriahkan perayaan
Maulid. Seponsornya adalah santri‑santri
dari Blitar, Jombang, Ponorogo dan Banyumas. Setelah surat edaran siap dikirim,
malam harinya Kyai Hasyim bermimpi bahwa alim ulama seluruh Indonesia sholat
berjamaah di sebuah masjid jami. Dengan jelas beliau melihat yang bertindak
selaku imam adalah Kyai Zainuddin Mojosari. Surat edaran tersebut praktis tidak
jadi dikirim, sebab pada dasarnya Kyai Hasyim cukup segan terhadap Kyai
Zainuddin yang merupakan guru dari KH. Wahab Hasbullah pendiri NU dan Rois Aam
setelah KH. Hasyim Asy’ari.* Tentu saja terdapat rasa sungkan ditubuh NU untuk
mengatur (menegur) gurunya sendiri.
Ketenaran nama Kyai Zainuddin ternyata membawa
dampak lain. Sehubungan dengan kewaliannya itulah, banyak orang datang mohon
ijazah do’a, namun beliau tetap mengaku tidak punya do’a khusus dan memang
seperti itulah yang dapat disaksikan, beliau bukan ahli thoriqot. Bila ada orang
yang datang minta ijazab do’a beliau spontan menjawab . “Enggih sampun kulo
ijazahi”. Entahlah apakah memang benar sudah atau belum Wallobu a’lam
bishshowab.
Hari‑Hari Pertama Di Mojosari
Gaung Pondok Mojosari menggema terdengar di segenap
penjuru, banyak ulama merupakan alumni pondok ini bahkan hampir setiap alumni
pondok ini setelah pulang mesti mengajar bagaimanapun bentuknya. Antik dan unik
merupakan identitas pondok Mojosari yang sudah tak asing lagi dan diakui oleh
masyarakat. Maka datanglah para santri dari daerah‑daerah yang jauh di Pulau jawa seperti Surabaya,
Banyumas, Cirebon dan sebagainya. Walaupun demikian jumlah santri pada masa
Kyai Zainuddin terbatas antara 200 sampai 250 orang.
Tentu saja Mas’ud yang selalu mengikuti informasi
pesantren mengetahui secara detail tentang Pondok Mojosari karena pondok yang
pertama kaii dimasukinya adalah Gondanglegi dimana Kyai Sholeh pengasuhnya
masih mempunyai hubungan keluarga dengan Kyai Mojosari. Nampaknya Mas’ud telah
lama menyimpan keinginannya untuk menjadi santri pondok favorit ini, dan iapun
datang ke Mojosari. Sayang perjalanannya tak mulus, ia harus menerima kenyataan
dan bersabar memecahkan problema yang menimpa dirinya. Masalahnya bekal yang
diberikan Pak Naib tak mencukupi untuk tinggal di Pondok. Uangnya terlalu minim
untuk dapat membayar iuran kamar dan biaya‑biaya yang lain. Mas’ud memang anak yang nerimo dan
tak suka membebani orang tuanya. Oleh karena itu ia tak pemah minta dana
tambahan. Dengan bekal sedikit itu dia ingin terus maju, Dimana ada kemauan
disitu ada jalan seolah‑olah
begitulah prinsipnya. Bukankah jalan menuju sorga itu dipenuhi onak dan duri ?
Sebagaimana sabda Rosululloh Saw
خُفَّةِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ
بِالشَّهْوَاتِ (رواه مسلم)
(Sorga itu dikelilingi dengan duka derita, dan
neraka itu dikelilingi dengan hawa nafsu (Muslitn)
Mengingat ketidakmampuan membayar inilah maka ja
memutuskan untuk tinggal di langgar Pucung yang terletak tidak jauh di selatan
pondok. Dari tempat inilah ia mengikuti kegiatan belajar di pondok dengan
pulang pergi.10)
Menurut riwayat yang lain bertempatnya Mas’ud diluar
pondok gara‑gara
ia takut menerima gojlokan. Memang gojlokan yang biasa diterima oleh para
santri baru seperti telah dipaparkan sebelumnya cukup mengerikan. Sehingga
banyak yang bertahan tinggal di Pondok cuma sehari semalam saja. Bayangkan, ada
santri baru diketahui takut melihat ulat, malahan semakin ditempelkan ulat di
tubuhnya. Tanpa sadar santri tersebut berteriak‑teriak berlari tunggang langgang dalam keadaan
telanjang.
Sementara diam‑diam Kyai Zainuddin selalu memperhatikan gerak‑gerik santri baru yang
berasal dari Ploso ini. Agaknya ada sesuatu yang menarik pada diri Mas’ud dan
suatu ketika terjadilah pertemuan dan dialog :*)
Kyai Zanuddin : “Co, endang ning pondok”
Mas’ud : “Kulo boten gadah sangu Yai”.
Kyai Zainuddin : “Ayo, Co … besok kowe arep dadi
Blawong, Co!”
Mas’ud tidak mengerti apa artinya Blawong, namun ia
hanya diam seribu bahasa, rupanya ia tengah berfikir tentang posisinya yang
amat sulit, hendak ke pondok uang kiriman tak akan cukup sebaliknya jika tetap
di Langgar Pucung berarti tidak taat pada gurunya. Oleh karena itu predikat
Blawong untuk dirinya hanya melintas sekilas dibenaknya. la sudah mengerti
bahwa Kyai Zainuddin sering memberi julukan kepada santri barunya dan
selanjutnya Kyai itu lebih suka memanggil dengan nama julukan ketimbang nama
aslinya. Tentu saja bukan sekedar guyonan, akan tetapi sebagai seorang
waliyullah beliau dikenal dapat menembus hal‑hal yang bersifat bathiniah, termasuk pribadi dan
hari depan masing‑masing
santrinya.
Sumber yang lain menceritakan bahwa sebeltim Mas’ud
sowan (menghadap) Kyai, terlebib dahulti Kyai berangkat ke Ploso untuk menemui
Pak Naib sekeluarga, “Mas’ud itu Blawong”, kata Kyai Zainuddin kepada Pak Naib.
“Tolong supaya benar‑benar diperhatikan
kebutuhannya”.11)
Lucunya ketika Mas’ud sowan kepada Kyai, bukan
Mas’ud yang menyampaikan salam dari orang tuanya di Ploso, melainkan Kyai
Zainuddin terlebih dahulu mengawali pembicaraan dengan mengatakan “Salam dari
ibu‑bapakmu “.
Agaknya Kyai Zainuddin menganjurkan Mas’ud pindah ke
pondok bukan sekedar basi‑basi.
Sampai tiga kali beliau mendesak Mas’ud untuk bertempat di pondok sampai
akhirnya murid itu benar‑benar
taat pada perintah gurunya. Kyai menempatkannya di sebuah kamar berslama sama
Zaini, Sobiri dan Baidowi yang temasuk orang-orang dekat Kyai sekaligus murid-murid
kesayangan beliau yang kelak dikemudian hari tampil sebagai Kyai sukses di
tempatnya masing‑masing.12)
Gara‑Gara Fathul Qorib Kian Spirit13)
Sudah setahun lebih Mas’ud tidak pulang. Sebagaimana
anak rantauan dia kangen kepada keluarga, rindu akan kampung halaman.
Pikirannya terasa kurang konsentrasi kepada pelajaran, maka pulanglah ia ke
Ploso untuk bersilaturrohmi dengan ayah‑ibu, saudara dan sanak famili. Tentu saja Pak Naib
sekeluarga merasa sangat senang menerima kedatangannya berhubung lama sudah tak
jumpa. Masing‑masing
dapat melepaskan perasaan rindunya dan saling menceritakan keadaan selama
perpisahan.
Sudah bisa dipastikan Pak Naib mesti melahirkan
kebiasaannya dengan menyembelih ayam. Namun kali ini lebih istimewa, yang
disembelih bukan sembarang ayam, tetapi ayam jago yang sudah dikebiri, berarti
bukan sekedar untuk Mas’ud, agaknya seperti ada acara penting.
Betul saja, ternyata Pak Naib mengadakan selamatan
atas pulangnya Mas’ud dari Pondok. Diundangnya pemuka Masyarakat dan dua orang
Kyai yaitu Kyai Pondok Kemayan dan Kyai Pondok Kalianyar, tak ada yang tahu apa
niat Pak Naib dengan acara kendurinya.
Pada jam yang ditentukan para undangan telah duduk
dengan rapi, Mas’ud dipanggil untuk ikut makan bersama. Tiba‑tiba setelah acara
jamuan makan usai, Pak Naib menyampaikan maksud acara.
“Nyuwun sewu Pak Kyai,”
kata Pak Naib menghadap dua orang Kyai di depannya. Semua mata tertuju ke arah
Pak Naib. “Anak saya ini sudah setahun di Pondok Mojosari, coba Pak Kyai uji
kemampuannya, apakah sudah bisa mengaji atau belum?” lanjut Pak Naib yang
membuat para hadirin serentak tercengang. Sementara Mas’ud tertunduk, gemetar,
kaget dan gugup karena merasa dirinya belum punya kemampuan apa‑apa. Hampir saja apa
yang barusan dimakannya berhamburan keluar dari mulutnya.
Dia tidak bisa menghindar, kecuali harus membaca
kitab taqrib yang disodorkan kepadanya. Sejak itu Mas’ud bertekad tak akan
pulang kalau belum siap dengan kemampuannya. Apabila rasa rindunya kepada
keluarga sudah tak tertahan lagi atau ada keperluan yang sangat mendesak
terpaksalah ia pulang ke rumah Roihah, adiknya yang sudah menikah dengan H.
Abdul Hamid di desa Kemayan (empat km ke arah selatan Ploso). Dari sanalah ia
mengutus adiknya untuk menyampaikan pesannya ke Ploso.
Pengalaman digojlok ayahnya waktu pulang sangat
membekas di hatinya. Betapa tidak, di hadapan publik orang‑orang terpandang ia
harus menanggung malu, mentalnya benar‑benar
diuji. Peristiwa itu tak akan dapat ia lupakan, sehingga ia semakin takut untuk
menyia‑nyiakan
waktunya, ia harus belajar lebih giat lagi.
Tiba‑tiba
Kyai Zainuddin memanggilnya dan menugaskannya untuk membaca (mengajar) kitab
Fathul Qorib. Sekali lagi ia menjadi kaget dan menanggung beban moral yang amat
berat. Mas’ud memberanikan diri menyatakan kepada Kyai babwa dirinya belum
siap. Namun Kyai mengatakan selanjutnya : “Co, sampean manut mawon. Sampean
sekedar berdagang, sing bakul kulo” (Mas kamu menurut saja. Kamu sekedar
pelayan dari dagangan saya. Majikan yang memiliki dagangan adalah saya). Yang
dimaksud dengan dagangan adalah Ilmu. Akhirnya Mas’ud tak mampu mengelak dan
harus belajar dan berusaha dengan segenap kemampuannya untuk menjalani perintah
gurunya. Namun dua peristiwa di atas merupakan cambuk spirit baginya untuk
berpacu lebih maju. Tak ada waktu untuk hura‑hura, tak ada kesempatan untuk ugal‑ugalan.
Suka
Duka Di Mojosari14)
Mas’ud terus semakin giat belajar, seakan‑akan tak pernah
mengenal lelah, tidurnya hanya sedikit dan temannya yang paling akrab adalah
kitab, pulpen dan tempat tinta berukuran besar. Pengalaman pahit diuji ayahnya
membawa pengaruh besar bagi jiwanya. Lebih‑lebih setelah peristiwa itu Mas Miftah, kakaknya
sering menuduh dirinya gagal belajar di Pondok. Hatinya malu dan terkadang
sedih. Itulah sebabnya tatkala Kyai Zainuddin menugaskannya untuk mengajar
Fathul Qorib, dia terkejut, tertunduk merendah sambil berucap: “Kulo dereng
saget nopo‑nopo,
Kyai!”*)
Namun Kyai Zainuddin yang arif‑billah itu sudah faham,
siapa sebenamya Mas’ud, termasuk kemampuan yang sudah dicapainya. Seperti biasanya
Kyai Zainuddin sering bercerita dan memberi nasehat di sela‑sela pengajiannya.
Kerap kali beliau tiba‑tiba
berkata: “Co, kancane ngaji iki Blawong, co! “**) tanpa menunjuk kepada
siapa-siapa. Tetapi Mas’ud merasa dalam hati kalau yang ditujukan oleh Kyai
adalah dirinya. Dan para santripun lama kelamaan mengerti siapa Blawong
diantara mereka.
Karena penasaran Mas’ud scring bertanya kepada teman‑temannya apakah artinya
Blawong, tak ada yang dapat memberi jawaban dengan pasti. Dan agaknya ia tak
puas sebelum mendapat jawaban sebenarnya, Ialu ditanyakannya kepada orang‑orang tua. Ternyata
Blawong adalah burung perkutut mahal yang bunyinya sangat indah dan merdu. Si
Blawong itu dipelihara dengan mulia di Istana Kerajaan Brawijaya dan tentu saja
ia turut naik tahta menjadi raja seluruh perkutut di wilayah kekuasaan
Brawijaya bahkan raja seluruh burung margasatwa di rimba belantara. Di samping
alunan suaranya yang mengagumkan, tak ada seorangpun yang berkata‑kata tatkala Si Blawong
sedang berkicau, semua menyimak suaranya. Seolah‑olah burung itu punya pengaruh dan kharisma luar
biasa Tidak hanya sampai disitu pujian yang diterima oleh Mas’ud, adalagi yang
lebih unik. Mbah Abu Hamid dari desa Ngetos‑Nganjuk sering datang di Pondok Mojosari, beliau
mengaku murid Kyai Zainuddin. Beliau juga dikenal sebagai seorang Waliyulloh
yang berprilaku Khoriqul ‘adah (di luar kebiasaan). Bila Mas’ud berjalan hendak
mandi ke sungai, Mbah Abu menghampirinya dan terkadang berputar‑putar mengitari santri
berprestasi ini sambil menirukan ayam jago yang sedang kukuruyu (keluruk:
Jawa). Suatu ketika Mbah Abu bertingkah lebih aneh lagi, tiba‑tiba beliau memukul
kentongan Pondok dan beduk sambil berteriak‑teriak laksana suporter tinju yang penuh semangat.
“Jagoku Ploso, nek kalah
tak pesteni mulih”,*) seru beliau berulang‑ulang. Tak ada yang mengerti apa sebenarnya maksud
Mbah Abu. Mungkin kelak Mas’ud akan menjadi jago (tokoh) di tengah‑tengah masyarakatnya
wallohu’alam.
Blawong dan jago adalah dua julukan yang disandang
oleh Mas’ud, membuat namanya kian harum di kalangan sesama santri dan semakin
dicintai oleh Kyai. Kepada Syihabuddin yang menjabat pengurus Pondok waktu itu
Kyai Zainuddin mengintruksikan agar Mas’ud diberikan keistimewaan (kehormatan)
tidak boleh ikut kerja apabila ada gotong royong. Tetapi Syihab tak perduli,
tetap semua santri harus bergotong royong tanpa kecuali. “Perkara Mas’ud calon
Kyai, itu kan soal nanti”, Tandas Syihab dengan tegas. Kyai Zainuddin nampaknya
tahu sikap Syibab dan kembali beliau memperingatkan. “Kelak kamu akan tahu
bahwa Mas’ud itu benar‑benar
seorang ‘Ulama besar”, kata Kyai dengan mantap.
Bagaimana dengan diri Mas’ud? banggakah ia? sikapnya
biasa‑biasa
saja bahkan semakin menunduk tawadlu’. Pujian dan penghormatan tidak membuat
dirinya takabbur atau merasa dirinya punya kelebihan Ialu meremehkan orang
lain. Dia tidak ongkang‑ongkang
menunggu ilmu ladunni turun dari langit, walau pun Kyai Ma’ruf Kedunglo, Kyai
Zainuddin (gurunya) dan Mbah Abu Hamid yang merupakan tiga auliya’ telah
menandaskan dirinya akan jadi seorang’Ulama di kemudian hari, justru sebaliknya
pujian‑pujian
itu diterimanya sebagai beban moral, ia harus dapat meningkatkan prestasinya
dan untuk itulah dia harus tekun belajar sepanjang waktu, bukankah ia hanyalah
anak pegawai negeri, tak memliki nasab Kyai. Satu‑satunya yang dapat dijadikan andalan hanyalah
ketekunan dan kesungguhan berikhtiar.
Tak ada jalah mendatar atau menurun terus menerus di
dunia ini. Terkadang ditemui tanjakan, jurang dan tebing, terkadang turun silih
berganti. Seperti itulah jalan hidup setiap insan di dunia ini dan Mas’ud‑pun mengalaminya.
Mengenang derita sengsara yang ia jalani benar‑benar membuat hati kita merasa iba dan terenyuh.
Pak Naib memberi jatah biaya hanya Rp. 5 sebulan,
tanpa membawa beras dan lauk pauk dari rumah. Padahal di zaman itu rata‑rata santri berbekal
Rp. 10,‑
terkadang masih ditambah lauk pauk dan beras. Maksud Pak Naib tentu saja baik,
untuk melatih anaknya agar terbiasa berhemat, hidup sederhana dan tahan
menderita disamping tanggungannya memang banyak. Bayangkan saja putraputrinya
ada 13 orang.
Karena bekalnya dibawah standar, konon setiap hari
ia hanya makan satu piring kecil (lepek: Jawa) yang dimasaknya dengan
menggunakan kaleng kecil (semacam kaleng susu kental manis cap bendera/indo
milk). Kaleng tersebut dipanaskan diatas nyala lampu. Lauk pauknyapun sekedar
untuk pelicin masuknya nasi melewati kerongkongan. Terkadang ontong (jantung
pisang) yang diberi bumbu ala kadarnya, satu ontong bisa sampai lima hari.
Terkadang daun luntas yang dipetiknya dari pagar dioleskan pada sambal yang
rasanya kocar-kacir tak karuan dan terkadang lauk pauknya sambal kluwak. Bahkan
sering kali hanya makan dengan garam saja. Sungguh jauh untuk dikatakan ni’mat
apalagi Iezat. Mas’ud yang bekas calon dokter itu bukannya tak mengerti akan
ilmu gizi, tetapi keadaanlah yang memaksa harus demikian.
Rupa‑rupanya
Kyai Zainuddin mengerti derita yang dihadapi oleh Mas’ud. Bertambahlah kasih
sayang dan cinta beliau kepada santri pujaannya itu. Sering kali Mas’ud menerima
kiriman.makanan dari rumah Kyai. Alhamdulillah, betapa syukur dan ni’matnya
bagaikan menghadapi hari raya.
Menurut sebagian riwayat di pertengahan mondok di
Mojosari inilah meninggalnya Pak Naib Ustman, ayahnya tercinta. Musibah ini
membuat kesedihan yang dalam di hatinya. Dia merasa belum dapat membalas budi
orang tuanya, belum sempat ia tunjukkan prestasi puncak berupa kesuksesan
setelah tamat dari Pondok. Disamping itu ia merasa kehilangan tempat mengadu
tatkala menghadapi problema kehidupan. Kini tinggallah ibunya, seorang wanita
yang harus tabah menanggung beban berat mengasuh 13 putra dan putri. Suatu
tanggung jawab yang amat berat bagi seorang wanita tua seperti ibu Naib.
Mas’ud merasa terharu bereampur pilu dalam hati,
semakin khusu’ ia berdo’a kepada Alloh SWT, semoga kiranya orang tua itu
mendapat ampunan dan yang masih hidup diberi kesabaran dan ketabahan menjalani
kehidupan.
Terbetiklah hatinya bagaimana langkah untuk
meringankan beban ibunya, ia ingin mandiri. Maka muncullah idenya yang menarik,
ia membeli kitab‑kitab
kuning yang masih kosong, Ialu dengan tulisannya yang sudah terkenal bagus,
indah dan rapi diberinya makna sangat jelas, makna gandul ala pesantren yang
mudah dibaca dan dipahami. Untuk keperluan inilah ia memiliki tempat tinta
berukuran besar. Banyaklah santri yang tertarik utituk memiliki hasil
kreasinya. Lalu dijualnya kitab tersebut, tentu saja dengan harga berlipat,
sampai kitab kecil semacam fathul qorib laku Rp 2,50,‑ (seringgit) suatu jumlah yang lumayan bagi Mas’ud,
sudah cukup untuk biaya hidup 15 hari. Seorang sahabatnya yang sampai sekarang
masih memiliki dagangan berharga itu adalah Kyai Jufri Prambon Nganjuk.
Macanpun
Tunduk Kepada Blawong15)
Sakit perut ingin buang hajat sudah tak dapat
ditahan lagi. Mas’ud bingung karena di Pondok tak ada WC. Hendak ke sungai
terlalu jauh dan gelap gulita, karena kejadian ini tiba‑tiba muncul di waktu malam hari. Akhirnya tanpa
berfikir panjang ia berlari‑lari
kecil, Ialu berjongkoklah ia dibawah pohon petai besar yang teletak di kebun
dekat Pondok. Menurut perasaannya ia memegang salah satu dari akar petai yang
menjalar di atas tanah. Setelah rasa mules agak berkurang ia memandang dengan
teliti kearah depan. Di kegelapan malam itu akhirnva tampak yang ia pegang itu
bukan akar petai, tetapi moncong seekor macan yang tengah berbaring. Tersentak
ia terkejut dan segera meninggalkan tempat itu dengan berjalan cepat dan
perasaan ngeri.
Pohon petai besar dan rindang itu memang angker.
Konon menurut orang‑orang
yang mengerti tentang dunia makhluk halus di pohon itu terletak Istana kerajaan
jin. Makhluk halus itu sudah bermukim berabad‑abad lamanya dan sering mengganggu santri Pondok.
Setidaknya ada seorang santri yang menjadi gila setiap tahun akibat ulah
makhluk halus.
Tetapi Mas’ud tak apa-apa, jiwa raganya yang bersih
dari maksiat dan ibadahnya yang tekun telah menghantarkannya dekat dengan Allah
Sang Maha Raja dari segala jin dan manusia. Macan jadi‑jadian dari jin jahat itu tak berdaya apa‑apa, tunduk kepada Sang
Blawong.
Blawong
Jadi Raja
Salah satu faktor yang menunjang suksesnya
Rasululloh SAW dalam perjuangan menyebarkan agama Allah adalah persatuan yang
utuh antara beliau dengan sahabat‑sahabatnya
terutama sahabat empat yang dikenal dengan nama Khtilafaur‑Rosyidin. Hal ini
dicapai karena adanya hubungan keluarga yang dijalin lewat tali pernikahan. Abu
Bakar As‑Shiddiq
dan Umar Bin Khottob r.a adalah mertua‑mertua
beliau, Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Tholib adalah menantu‑menantu beliau.
Mempererat hubungan dengan para kader perjuangan
Islam yang telah dicontohkan oleh Rosululloh SAW ini dikemudian hari diwariskan
sebagai suatu tradisi oleh para ‘Ulama warotsatul anbiya. Di Pondok Pesantren
sudah lazim terjadi santri‑santri
yang punya prestasi menonjol dan berakhlaq mulia dijodohkan dengan putri atau
keluarga Kyai. Dan Kvai Zainuddin adalah salah satu contohnya.
Empat tahun sudah Mas’ud di Mojosari. Berkat
ketekunannya hampir seluruh fan (vak) sudah dikuasainya dengan baik. Kyai
Zainuddin merasa lega melihat santri andalannya itu benar‑benar telah memenuhi
harapannya. Sungguh tak dapat duraikan dengan kata‑kata. Betapa bangganya seorang guru apabila
menyaksikan muridnya punya prestasi, lebih‑lebih dikalangan Pesantren. Bukankah Ilmu yang
tumbuh dan berkembang di dada santrinya merupakan jariyah yang pahalanya terus
mengalir untuk sang guru sampai jasad sudah terkubur?
Begitulah kebanggaan Kyai Zainuddin kepada Mas’ud
berakibat lebih lanjut, seakan‑akan
ia tak bisa melepaskannya lagi. Mas’ud bagi beliau adalah kader yang diharapkan
dapat mengorbitkan Mojosari lebih lanjut. Maka muncullah niat beliau untuk
menjodohkan Mas’ud dengan ning Badriyah
putri Kyai Khozin Widang Langitan‑Babat
(ipar Kyai Zainuddin). Gadis yang semula anak ipar ini dijadikan putri angkat
oleh Kyai Zainuddin dan dibesarkan di Mojosari berhubung beliau tak memperoleh
keturunan. Beliau tak ingin terlambat mendapatkan Mas’ud, khawatir kalau
didahului oleh orang lain.
Sementara Mas’ud yang berpenampilan gagah dan
berparas tampan itu belum berfikir terlalu jauh tentang teman hidup, terlebih‑lebih lagi usianya baru
menginjak ± 19 th. Ketekunan dan cintanya pada ilmu telah menyelamatkan dirinya
dari hayalan & lamunan betapa indahnya belahan jiwa tambatan jantung. No
time for love merupakan prinsip yang ia pegang teguh selama masih menuntut
ilmu, karena wanita dianggapnya penggoda paling rawan bagi seorang pencari
ilmu.
Akan tetapi Mas’ud tak mampu mengelak tatkala Kyai
Zainuddin tiba‑tiba
memanggil dan mengutusnya pulang ke Ploso. “Sampaikan salamku pada ibumu,” kata
beliau mengawali pesan. “Sampaikan kepadanya bahwa kamu akan saya jadikan
menantu”.
Sungguh Mas’ud tak bisa berbuat apa‑apa dihadapan gurunya
yang agung. la pamit sambil menghela nafas panjang.
***
Kini Mas’ud sudah pulang ke Ploso dan sedang berada
di tengah‑tengah
keluarganya, semua duduk mengerumuninya karena dia terlalu lama tak pulang.
Tatkala suasana cukup tenang, dia menyampaikan salam dan pesan Kyainya.
“Salam Pak Kyai Bu”,
katanya yang langsung dijawab: “Alaika wa’alaihimus salam “, oleh ibunya “Kulo
dipun utus nyampaeaken pesan, bilih Pak Kyai mundut kulo dados menantu”,
katanya melanjutkan (Saya diutus untuk menyampaikan pesan Pak Kyai bahwa saya
akan diambil menjadi menantu).
Sebelum ibunya memberi tanggapan yang pasti, Mas
Miftah tersentak dan tiba‑tiba
berkata dengan lantang : “Kowe mondok isih pirang dino, wis pingin kawin … arep
dadi mantune Kyai, isomu opo? ” (kamu mondok baru berapa hari saja sudah pingin
kawin. Bisamu apa?). Ternyata ungkapan Mas Miftah di atas cukup diperhatikan
dan mempengaruhi keputusan rembukan keluarga ini. Memang Miftah diakui sangat
cerdas dan lincah sehingga memegang peranan di keluarganya terutama setelah Pak
Naib meninggal.16)
Mas’ud kembali lagi ke Mojosari dengan membawa
keputusan keluarga bahwa dirinya belum siap untuk menikah. Namun Kyai Zainuddin
tak mau menerima keputusan itu. Beliau memerlukan diri untuk datang ke Ploso.
Di Ploso seluruh keluarga menyambut Kyai dengan
penuh hormat, lebih‑lebih
kali ini ada topik pembahasan yang istimewa. “Sing momong niku kulo, kulo
langkung ngertos pribadi santri setunggal‑setunggalipun”,*) tegas Kyai dengan gayanya yang
khas. Semuanya bungkam diam seribu bahasa, termasuk Mas Miftah. Dan
pembicaraanpun dilanjutkan membahas tehnik pelaksanaan, hari resepsi dan
seterusnya.
***
Malam resepsi telah tiba. Dua sejoli Mas’ud dan
Badriyah telah bersanding, resmi dinobatkan menjadi raja dan ratu semalam.
Seluruh mata memandang ke arah pelaminan. Si Blawong benar‑benar menjadi raja.
Para undangan dari kalangan ‘Ulama, Umaro’, Tokoh
masyarakat dan handai taulan telah pula datang sementara suara gendang bertalu‑talu mengiringi barisan
anak-anak muda yang bernyanyi sambil berlenggak lenggok memainkan kipas di
tangannya. Kesenian ‘ruddat’ yang mengenakan seragam gaya Turki ini memang
sengaja didatangkan dari Langitan oleh Kyai demi memeriahkan acara resepsi.
Malam sejuta rasa, semua bergembira. Mojosari berubah seketika dipadati oleh
lautan manusia, hingar bingar suara lagu dan gendang, diselingi teriakan dan
tepuk tangan para hadirin. Suatu resepsi yang tergolong meriah dan megah di
kala itu.
Siapapun dapat menyaksikan betapa Kyai Zainuddin
sangat mengagumi Mas’ud, Resepsi inilah buktinya, beliau benar‑benar mewujudkan rasa
syukurnya yang luar biasa. Kini guru agung itu telah menjadi satu dengan murid
kesayangannya lewat tali pernikahan. Dan sejak itulah Mas’ud sangat populer
dengan sebutan Mas’udnya Kyai Zainuddin, Bukan Mas’ud Ploso atau Mas’udnya Pak
Naib.
Panggilan
Nabi Ibrahim
Setelah beberapa lama di Mojosari, sepasang
pengantin baru itu hendak pulang ke Langitan. Kyai Khozin pengasuh Pondok
Langitan diam‑diam
juga punya rencana yang sama dengan Kyai Zainuddin. Kyai Khozin ingin agar
menantunya yang tersohor ‘alim itu mengajar di Pondoknya dan kelak akan tampil
sebagai penerus perjuangan beliau. Rencana itu ternyata diketahui oleh Pak
Chasbulloh seorang yang ‘alim dan berperilaku khoriqul adah. Tak seorangpun
yang berani melanggar perintah atau larangannya, termasuk Kyai Khozin sendiri.
Sudah banyak buktinya orang jadi kuwalat karena melanggar atau meremehkan
perintahnya.
“Sampean kedah ning
kutho, Inggih! saben jam sekawan sonten nganti jam songo. Ngangge niki”,*) kata
Pak Chasbulloh kepada Mas’ud sambil menunjuk bendi (dokar) mewahnya. “Nyaine
diajak, ben marem”**) katanya melanjutkan. Mas’ud hanya dapat mengangguk sambil
berucap “Inggih “.
Setiap jam 4 sore sebuah bendi mewah beserta
kusirnya telah siap menjemput Mas’ud dan istrinya untuk kemudian berangkat
berputar‑putar
di kota Babat. Orang memandang betapa asyiknya dua sejoli itu, berbulan madu
dengan kendaraan mewah bersantai ke kota bagaikan sepasang merpati. Namun orang
tak pernah mengerti betapa jenuhnya Mas’ud hanya melakukan kegiatap monoton
yang itu‑itu
saja setiap hari. Lalu kesempatan itu dipergunakannya untuk berziarah ke makam
seorang ‘Ulama di Babat, di tempat itulah dia munajat kepada Alloh setiap hari
dan pulang pada waktu yang sudah ditentukan. Lama kelamaan Mas’ud jenuh juga,
dia tak mengerti apa tujuan Pak Chasbulloh memerintahkannya berputar-putar di
kota. Hendak pamit pulang ke Ploso tak berani, apalagi akan pindah ke Pondok
lain. “Apa tujuanku setiap hari begini”, kata batinya yang penuh tanda tanya.
Padahal ia sangat senang andaikata diberi kesempatan untuk mengajar atau
membuka pengajian di Pondok Langitan, demi mengembangkan ilmunya dan
mengamalkannya.
Di tengah kebingtingannya itu timbullah niatnya
untuk menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Pak Chasbulloh merestuinya, begitu juga
istrinya tercinta. Maka pulanglah ia ke Ploso untuk mohon izin dan berunding
dengan ibunya.
“Haji?” seru ibunya
kaget tatkala ia mengungkapkan persoalannya. “Le …, le … ! Opo sing arep di
enggo haji?”*) lanjut ibu yang merasa tak punya kemampuan itu. “Warisan kulo
disade sedoyo, Bu”**) tandas Mas’ud dengan singkat.
Akhirnya diputuskan bahwa Mas’ud positif berangkat
haii. Sawah seluas (l/2 bahu : Jawa) beserta sapi hak miliknya dijual habis
ternyata belum mencukupi untuk membayar ONH (ongkos naik haji) sebesar 115
golden, maklum waktu itu sedang terjadi krisis ekonomi dimana uang amat sulit
didapat karena harga barang‑barang
sangat murah. Namun dalam hati kecilnya Mas’ud yakin apabila Nabi Ibrabim a.s
telah memanggil tak ada satu kekuatanpun yang dapat menghalangi. Ikhtiar mesti
terus dilakukan sambil bertawakal kepada Alloh.
Adalah tidak mudah bagi Mas’ud untuk sampai
Baitulloh, di tengah‑tengah
kerumitan mencari kecukupan uang ONH itu istrinya jatuh sakit di Langitan, akan
tetapi tekad Mas’ud tak pernah goyah. Diyakininya bahwa semua kesusahan yang
menimpa ini hanyalah cobaan bagi semua perbuatan mulia. Hatinya tegar bagaikan
batu karang di tengah lautan yang tak bergeming dihempas ombak.
Hari keberangkatan sudahlah tiba, namun persoalan
belum bisa dipecahkan. Tanpa diduga sebelumnya Kyai Zainuddin (mertuanya)
menyodorkan seiumlah uang, konon besarnya 100 golden suatu jumlah yang amat
besar untuk zaman itu lebih‑lebih
disaat situasi ekonomi sedang kacau. Tak berlebihan bila dikatakan bahwa
beliaulah pengganti Almarhum ayahnya (Pak Naib).17)
Alhamdulillah, betapa syukurnya Mas’ud dan segenap
keluarga. Rupanya Allah telah menyaksikan kesabaran hambanya menerima cobaan,
Ialu diberinya jalan keluar. Panggilan Ibrahim benar‑benar untuk Mas’ud. Labbaika Allohumma Labbaika,
rombonganpun berangkat beriring-iring sembari deru sholawat bergema di udara. Mereka
menuju desa Kras dengan berjalan kaki menempuh jarak 4 km, dan Kyai Zainuddin
Mojosari yang sejak semalam menyempatkan diri menginap di Ploso ikut serta
berjalan kaki dan seterusnya ikut mengantar ke Surabaya. Di Pelabuhanpun Kyai
Mojosari itu bermalam sampai kapal benar‑benar berangkat. Puluhan ribu tangan
melambai-lambai, tak tertahan tetesan air mata keharuan mengalir dalam rangka
melepas keberangkatan tamu Alloh. Semoga kembali lagi dengan selamat dan
mendapatkan haji Mabrtir.
Menghafal
Di Kapal
Pelayaran Surabaya Jeddah dengan menggunakan kapal
uap tak secepat pesawat jet DC 10 atau Boing 747 sekarang ini. Tiga bulan
lamanya terapung‑apung
diatas laut. Pelayaran adalah suasana yang biasanya membuat orang menjadi
sedih, menghayal dan rindu. Mas’ud tak mau membiarkan fikirannya melayang‑layang tak berguna.
Bila memikirkan istrinya yang sedang sakit di Langitan sedihlah ia,
dikuatkannya hatinya untuk bertawakkal kepada Alloh bersabar menerima cobaan.
Lalu kesempatan di kapal yang luang dipergunakannya
untuk menghafal bait‑bait
syair (nadhom) uqudul juman, sebuah kitab tertinggi dalam bidang Balaghoh.
Sungguh Mas’ud tak pernah menyia‑nyiakan
waktu berlalu tanpa belajar, karena ia bersemboyan bahwa kunci utama mencari
ilmu adalah Mempeng (sungguh‑sungguh).
Dan itulan yang dilakukannya sejak kecil.
1 Keterangan Mbah Burdah Jombang dan KH. Manshur
Sholeh Mojosari.
2) Cerita Kyai Syihabuddin kepada Pak Salam.
3) Keterangan Mbah Burdah Jombang. Menurut sumber
lain, Pondok Siwalan Panji Sidoarjo
4) Keterangan Mbah Masruri Mojosari
5) Cerita KH. Manshur Sholeh Mojosari, Beliau
mengenang masa-masa nakalnya di Mojosari
6) Cerita Mbah Masruri, KH. Manshur Sholeh dan
lain-lain.
7) Dikisahkan oleh KH. Manshur Sholeh Mojosari.
8) Dikisahkan oleh KHA. Djazuli Utsman kepada Pak
Musleh.
9) KH. Manshur Sholeh, Mbah Masruri dan Mbah Burdah.
* Keterangan :
Pada waktu KH. Hasyim Asy’ari istilah yang dipakai
adalah Rosi Akbar tapi sepeninggal beliau para penerusnya merasa riskan
menyandang gelar Rois Akbar, lalu diganti dengan istilah Rois Aam.
10) Cerita KH. Manshur Sholeh Mojosari.
*) Kyai Zainuddin : “Mas, ayo pindah ke Pondok”
Mas’ud : “Saya tidak punya bekal Kyai”
Kyai Zainuddin : “Ayolah Mas, kelak kamu akan jadi
Blawong”
11) Keterangan Kyai Ma’ruf Mursyidi Ponorogo
12) Keterangan Mbah Burdah Jombang
13) Cerita KHA. Zainuddin Djazuli, diterima dari H.
Abd. Hamid Kemayan (ipar KHA. Djazuli Utsman suami Roihah)
14) Dirangkum dari keterangan KH. Manshur Sholeh,
Mbah Burdah, Mbah H. Abd. Ghani, dll.
*) Saya belum bisa apa-apa Kyai”
**) Mas, temannya ngaji ini adalah Blawong”
*) Jago saya dari Ploso, kalau kalah saya pastikan
pulang”
15) Kisah Kh. Manshur Sholeh dan Mbah H. Abd. Ghani
16) Cerita Mbah Burdah Jombang
*) “Yang mengasuh adalah saya, jadi saya lebih
mengerti pribadi masing-masing santri”.
*) “Kamu harus ke kota setiap hari jam 4 sore sampai
jam 9 malam, pakai bendi ini”.
**) “Istrinya diajak biar puas”
*) “Nak……nak……! apa yang dipakai untuk haji?”
**) “Warisan saya dijual semua, Bu”
17) Keterangan Mbah Burdah Jombang dan Pak Musleh
Masa
Menuntut Ilmu Agama
lbadah haji tengah berlangsung, setiap Jamaah hanyut
dalam perasaannya masing masing, rukun demi rukun dari lbadah haji menyimpan
nilai spiritual yang amat tinggi dan mendatangkan rasa khusu’ dekat dengan
Allah. Sehingga banyak orang menangis menyesali dosa dosanya, disamping
menangis haru mendapat kehormatan untuk datang memenuhi panggilannya, mereka
bersyukur dan bahagia dapat menyempurnakan rukun Islam. Betapa dekat hubungan
seorang hamba dengan Tuhannya di tempat yang mulia itu.
Tidak semua muslim bisa datang ke sana, banyak orang
kaya raya meninggalkan dunia fana ini sebelum menunaikan ibadah haji, wajar
kalau kita katakan para jamaah haji itu adalah manusia manusia pilihan.
Mungkin Mas’ud termasuk seorang jamaah yang pantas
mensyukuri nasibnya melebihi jamaah jamaah yang lain. Betapa tidak, ia datang
ke tanah suci bukan karena kekayaannya. la datang tersendat sendat berjuang
mengatasi rintangan, sungguh ia bersyukur dan merasa lega bahwa dirinya yang
serba kekurangan dapat menyempurnakan rukun Islam.
Di tengah tengah kekhusu’an ibadah haji itulah ia
menerima khabar dari tanah air bahwa istrinya telah meninggal dunia
“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun”. Bagaikan disambar bledek (petir) berita
tersebut menyayat kalbunya, sebagai hamba Allah yang baik hanya bersabar yang
dapat ia lakukan.
Kini ia merasa sebatangkara, istri sudah tiada,
harta sudah terjual habis, rumah memang tidak punya. “Apa yang hendak diharap
lagi di tanah air?” pikirnya dalam hati, maka ia bertekad untuk berimukim di
tanah suci Mekkah sampai kapanpun, untuk beribadah sambil menggali ilmu dan
mengamalkannya. Karena sampai pertengahan abad 19 Mekkah masih merupakan pusat
pengajaran ilmu-ilmu Salafiyah secara mendalam, sebab disana banyak pengajar ‘Ulama
‘ulama bertarap internasional. Hal itu tentu saja sangat menarik bagi Mas’ud
seorang pemburu ilmu yang tak kenal puas dan lelah.
***
Perkenalan dengan Sablan dapat menghibur dan
membesarkan hati H. Djazuli. Demikianlah namanya setelah sempurna menunaikan
ibadah haji. la mengganti namanya sebagaimana tradisi yang sudah berlaku, lalu
ditambahkannya nama ayahnya dibelakang, jadi lengkapnya H. Djazuli Utsman.
Sahlan sahabat barunya itu adalah seorang jemaah
haji yang berasal dari Pagu Gurah Kabupaten Kediri yang tak jauh dari Ploso.
Sungguh bahagia rasanya bertemu dengan teman sedaerah dirantau orang, perasaan
bersaudarapun terjalin Dan Mas’ud kian bahagia mendengarkan keinginan Sahlan
untuk menempuh pahit getirnya kehidupan dirantau orang, teman memikul tatkala
berat dan menjinjing tatkala ringan.
Setelah beberapa lama hidup di negeri orang uang
bekal telah habis, maka sepakatlah mereka berdua masuk bekerja sebagai tenaga
administrasi pada seorang Syech Muzawir (biro travel urusan haji) yang terkait
dengan instansi kerajaan, pekerjaan ini ia lakukan demi mendapatkan gaji untuk
menyambung hidupnya. Di sela sela tugasnya yang menumpuk pergilah ia mengaji
menambah ilmu, namun lama kelamaan mereka sadar bahwa tugas yang menumpuk telah
menyita sebagian besar waktunya sehingga tujuan semula untuk menuntut ilmu
telah terbengkalai.
Kedua orang sahabat itu berunding dan akhirnya
mereka keluar dari pekerjaan. Diputuskannya untuk berguru kepada Syekh Al
‘alamah Al-’Aidarus di Jabal Hindi Mekkah.18) Persoalan rizki di pasrahkan
sepenuhnya kepada Allah SWT. Agaknya ia ingat bahwa Abu Hanifah r.a. pernaih
meriwayatkan sebuah hadits Rasululloh SAW yang diterima dari seorang sababat
beliau bemama Abdulloh bin Hasan Az zuaidy:
من تفقه فى الدين الله كفاه الله همه ورزقه من حيث لا يحتسب
(Barang siapa mempelajari agama Alloh, maka Alloh
memenuhi cita citanya dan diberinya rizki dari arah yang tak disangka sangka).
Benar saja, tak lama kemudian para Mukimin yang ada
di Mekkah berkumpul dan meminta H. Djazuli supaya bersedia memberikan pengajian
untuk mereka. Rupanya Allah telah memenuhi janjinya untuk memberkati rizki
kepada pengabdi ilmu, sebab dari merekalah H. Djazuli mendapatkan uluran
tangan, jumlahnya memang tak seberapa, namun sudah mencukupi untuk menyambung
hidup dan bekal menuntut ilmu.
Untuk tempat bernaung disewanya sebuah ruangan bawah
dari rumah tingkat. Dia harus tidur bersama kumpulan arang dan barang-barang
yang berserakan karena ruang yang disewanya itu adalah sebuah gudang. Menurut
riwayat yang lain, tempat tinggalnya itu emperan pabrik yang telah rusak, dan
didekatnya terdapat pohon-pohon kurma. Konon kabamya ada sedikit uang sisa yang
ia miliki, jumlahnya tak seberapa hanya seringgit (Tak jelas apakah ringgit
emas atau golden). Uang yang dipersiapkannya apabila ada keperluan mendesak itu
dimasukannya ke dalam pelepah kurma yang sudah terpotong, lalu pelepah yang
terisi uang itu dimasukannya kembali disela sela pelepah kurma yang masih utuh
di batangnya. Ketempat itulah ia pulang untuk berganti pakaian atau merigambil alat
alat belajarnya sambil tak lupa mengontrol uangnya, masihkah atau tidak.
Apabila teman-temannya bertanya dimana tempat tinggalnya dan menyatakan ingin
berkunjung maka ia menjawab: “Ah…. gak usah, kita ngaji dan ngumpul di Masjidil
Harom saja”.
Menyimpan uang tersebut perlu ia lakukan karena
pekerjaan tetap sudah tidak ada, kiriman dari rumah tak dapat diharapkan lagi
mengingat harta warisan telah dijual babis, sementara ibunya masih menanggung
sejumlah anak.19)
Nasib pilu yang dihadapi H. Djazuli sungguh membuat
kita merasa iba, ia tak tahu apakah esok pagi ada atau tidak sepotong roti,
sebutir kurma yang hendak dimakan terkadang ia ikut ambil bagian sedekah dari
ransumransum yang disediakan oleh para dermawan Arab. Makan dan minum
sekedarnya dengan makanan yang tak cocok bagi selera lidahnya semata mata untuk
memperoleh kekuatan beribadah dan menuntut ilmu. Diterimanya makanan itu dengan
rasa penuh syukur, karena itulah yang diberikan oleh Allah. Tak pemali ia
mengeluh apalagi meneteskan air mata. Karena bagi H. Djazuli yang sudah
terlanjur dimabuk kepayang oleh ilmu, segenap penderitaan yang dialaminya atau
pedihnya perut yang keroncongan telah dapat dilupakannya bila ia berhadapan
dengan kitab, dalam rangka belajar atau mengajar.
Nestapa
Di Padang Sahara20)
Waktu terus bergulir, tak terasa hampir dua tahun
sudah H. Djazuli mendalami ilmu di Mekkah, kealiman yang dibawanya dan sudah
diakui sejak ia di Mojosari semakin meningkat saja. Namun ia tak pernah
menunjukkan bahwa dirinya telah ‘alim, tetap saja merendah dan tekun luar
biasa, bahkan semakin merasa bodoh.
Akan tetapi pada tahun 1922 ia dan seluruh warga
negara asing di Mekkah terpaksa tak dapat meneruskan pelajaran atau kegiatan,
karena tahun itu terjadi kudeta (Perebutan kekuasaan) oleh kelompok Wahabi yang
diprakarsai oleh Abd. Aziz As Suud. Perang saudara berkecamuk hebat dan
diberlakukan hukum darurat perang. Karena situasi negara yang masih sangat
rawan, pihak keamanan negara segera menangkap orang orang asing dan dipaksa
kembati ke negara asalnya. Mendengar berita tersebut H. Djazuli merasa sedih
dan sangat khawatir kalau sampai tertangkap dan dipulangkan. Pasainya selama
berada di tanah suci belum pernah ia ziarah kemakam Rosul di Madinah, maklum ia
tak punya biaya. Lalu diajaknya Sahlan beserta 5 orang teman lainnya untuk
menerobos masuk ke Madinah secara nekat berjalan kaki. Mereka bertujuh sepakat
berangkat dengan membawa sedikit bekal sambil mengalungkan Guriba (Kantong
wadah air yang terbuat dari kulit kambing) dilehernya masing masing. Berjalanlah
mereka melintasi padang pasir tandus yang amat luas, sebagai gerilyawan yang
diburu oleh pemberontak Wahabi, apabila jejaknya diketahui niscaya mereka akan
ditangkap dan gagallah rencananya. Sejatih mata memandang yang tampak hanya
lautan pasir yang bergelombang akibat hembusan angin kencang, sesekali
dijumpainya gunung gunung batu nan terjal. Tak ada pepohonan hijau yang mampu
tumbuh disana karena terik panas matahari mencapai 40º 55º C, sementara air
sangat sulit, lebih langka daripada premium, emas dan perak. Ada juga
ditemuinya beberapa pohon kurma penuh debu yang hidup segan mati tak mau di
pinggir pinggir perkampungan suku Baduwi. Sungguh pemandangan yang amat
menyeramkan apalagi bagi rombongan yang berasal dari Indonesia itu, suatu
negara yang beriklim sedang.
Namun keganasan padang pasir tak pernah membuat
musafir itu mundur, tekadnya sudah begitu kuat untuk bertemu dan pamitan kepada
Rosululloh sebelum dipaksa pulang oleh pemerintah. Walaupun untuk mencapai
maksudnya mereka harus berjalan kaki menempuh jarak 498 km.
Mereka berjalan terus dengan tertatih tatih, apabila
panas sudah mencapai terik yang terlalu menyengat sekitar jam 11.00 siang,
mereka sudah tak tahan berjalan, maka segeralah mereka mencari tempat
istirahat, mereka sangat senang jika menemukan tempat berteduh baik pohon atau
timbunan batu dilereng gunung, apalagi disitu ada mata air yang biasa disebut
Wadi, dapatlah mereka melakukan istirahat disana, mengisi persediaan air dan
tertidur pulas. Namun jika mereka tidak menemukan tempat senyaman wadi,
terpaksalah mereka berhenti dan tidur di tengah tengah padang pasir. Digalinya
padang pasir itu Ialu masing masing mereka memendam badannya sampai batas
leher, hanya kepala yang kelihatan. Maksudnya agar mereka tidak terserang HEAT
STROKE (Penyakit bahaya akibat sengatan padang pasir yang punya kadar
kelembaban amat rendah).
Namun yang paling mengagumkan dari kisah perjalanan
ini, keteguhan hati mereka untuk tetap membuka pengajian disaat saat istirahat,
bila memungkinkan mereka duduk melingkar dan H. Djazuli sebagai Ustadz memulai
pembahasan. Kitab yang mereka kaji adalah Minhatul i’rob, sebuah kitab kecil
tentang pelajaran nahwu. Namun sayang, kitab yang turut serta dalam perjalanan
bersejarah itu terpaksa menjadi cacat, pasalnya H. Djazuli tak bisa
meninggalkan kebiasaan merokok dan pinggir pinggir kitab itulah yang terpaksa
disobek untuk membungkus tembakau.
Ditemuinya sekelompok Badui menggembalakan kambing.
Di zaman dahulu orang Badui adalah suku bangsa Nomaden (Suku yang suka bertempat
tinggal secara pindah pindah), mereka mengembara mencari tempat yang layak
untuk kambing kambingnya. Pengembangan serta pendidikan untuk suku Badui
sehingga menjadi suku yang bermukim tetap dan mengolah pertanian kurma baru
dimulai setelah raja Abd. Aziz Bin Su’ud naik tahta.21)
Rupanya kelompok Badui tadi tertarik melihat
rombongan orang orang asing tengah berjalan kaki dengan susah payah, orang
asing itu kelihatan meringis kepanasan, agaknya mereka butuh pertolongan.
Betapa senangnya H. Djazuli dan kawan kawannya setelah Badui tersebut menyapa
mereka dan mempersilahkan singgah digubuknya. Di situlah sang musafir bisa
tidur, sholat dan mengisi persediaan air, sementara Badui menyembelih seekor
kambing untuk merceka. Mereka diberi makan sampai kenyang, kemudian diberikan
bungkusan berisi makanan dan daging kambing untuk makanan di perjalanan. Masing
masing menenteng sebuah bungkusan.
Mereka bisa tersenyum penuh rasa syukur, yakinlah
mereka bahwa Allah benar-benar maha Pengasih dan Penyayang. Mereka yakin bahwa
Allah pasti memberi rizki dengan caranya sendiri, walaupun di tengah pasir yang
Iuas ini. Mereka tak pernah putus asa, perjalananpun terus dilanjutkan.
Ternyata ada lagi kelompok Badui ditemtuinya. Badui kedua ini juga tertarik
melihat iring iringan mereka, tetapi yang menarik bagi kelompok Badui ini
adalah bungkusan bungkusan makanan dan barang bawaan mereka. Timbulah niat
jahat dan kekasaran Badui yang sudah ditempa oleh alam yang gersang dan ganas,
Badui mulai menyergap rombongan musafir sambil menjulurkan tombak dan memaksa
rombongan segera menyerahkan diri. Namun sebelum insiden perampokan berlangsung
salah seorang anggota rombongan dengan suara memelas menjelaskan kepada Badui
itu dengan logat ‘Amiyyah:
انا فقير الجاوى بذى ارواح الى مدينة الرسول
(Kami fakir fakir dari tanah lawa akan berziarah ke
makam Rosul).
Badui badui itu terketuk nuraninya, lebih lebih
setelah memperhatikan keadaan musafir itu yang sangat membutuhkan pertolongan,
malahan Badui tersebut Ialu mempersilahkannya istirahat dan memberinya makan
minum.
***
Hari demi hari mereka berjalan dan terus berjalan,
sandal sandal mereka sudah tak berfungsi lagi sementara kaki kaki mereka mulai
membengkak, disobeknya surban atau celana untuk membalut kakinya agar dapat
meneruskan perjalanan dan kesengsaraanpun kian terasa. Meneruskan perialanan
bagi mereka adalah sungguh berat, namun akan kembali lagi ke Mekah sudah
terlanjur jauh, akan berdiam di tengah gurun pasir juga sangat mustahil. Gurun
pasir dirasakannya sangat kejam, tak ada warung atau kios tempat membeli
keperluan, yang ada hanyalah dahaga dan hanya bersabar yang dapat mereka
lakukan. Mereka mengharap semoga rasa haus di panas terik ini akan melepas
dahaga baginya dihari kiamat nanti.
Kini mereka sudah tak punya apa apa lagi buat
dimakan atau diminum, sementara mereka sudah sangat lapar dan haus, saat itulah
H. Djazuli berkata kepada Sahlan dan kawan kawan: “Aku akan berdo’a kalian
semua mengaminkan”, dan mereka pun berdo’a dengan khusuknya mohon pertolongan
kepada Allah.
Tak lama setelah itu seorang berbaju putih
memanggil-manggil dari kejauhan sambil berisyarat dengan tangan, orang tersebut
mempersilahkan sang musafir masuk kedalam gua. Disana sudah disiapkan aneka
makanan, lauk pauk dan buah buahan. Dan merekapun makan sepuas-puasnya kemudian
tak lupa mereka diberi bungkusan dan air minum untuk persiapan di tengah jalan.
Peristiwa serupa terjadi berulangkali. Anchnya
tempat makan tadi sudah hilang lenyap tatkala mereka menoleh ke belakang, yang
ada tinggallah padang pasir. Ini baru disadarinya setelah peristiwa berulang
kali, aneh tapi nyata sebagai bukti kekuasaan Tuhan.
***
Mereka merasa lega dan amat bersyukur setelah
sebulan lebih terkatung katung dihempas derita akhirnya sampailah mereka di
kota Madinah sekitar jam 16.30 sore, kota yang pernah menerima Rosul dan kaum
Muhajirin dengan lemah lembut dan ramah tamah. Perlakuan itu juga yang mereka
harapkan setelah memasuki kota.
Perihnya kaki yang sudah bengkak bengkak dengan
parahnya tak tertahankan lagi disamping kelesuan dan kejenuhan perjalanan yang
telah memuncak dan mereka membaringkan tubuh di suatu tempat tanpa perduli
malu, sebagian mereka tertidur pulas kecapaian.
Tiba tiba lewat seorang wanita sedang menggendong
madu, wanita itu agaknya juga masygul melihat pemandangan yang ganjil berupa
orang orang asing tidur berserakan dengan pakaian kumal dan kaki bengkak,
terbitlah rasa kemanusiaan dalam nuraninya, “Sungguh kasihan mereka”, bisik
hatinya. Wanita itu berhenti tak jauh dari tempat sang musafir sambil
melepaskan gendongannya di atas tanah. Dan masing masing musafir itu diberinya
madu sekedarnya, madu Arab yang terkenal tinggi khasiatnya. Latu wanita tadi
mempersilahkan para musafir untuk mampir di rumah keluarganya.
Seluruh anggota keluarga dan tetangga berkerumun
menyambut musafir musafir yang sangat menyedihkan nasibnya ini, di tempat
itulah mereka menginap, mendapatkan pelayanan makan dan pengobatan.
Kini mereka merasa puas telah dapat mencapai maksud
hati untuk menghadap kepada Rosul yang mulia. Perihnya kaki yang bengkak dan
pedihnya derita perjalanan terasa agak berkurang karena mengenang betapa
beratnya perjuangan Rosul dan sahabat sahabatnya. Merekapun berziarah berulang
kali selama berada di kota ini. Mereka mengharapkan safa’at di hari kemudian.
Hampir sebulan lamanya mereka di Madinah, sedangkan
di Mekkah peperangan berangsur-angsur mereda. Kaum Wahabi berhasil
menggulingkan pemerintah lama, maka resmilah berdiri kerajaan AS SU’UDIYYAH
(Saudi Arabiyah). Walaupun peperangan sudah hampir usai, orang orang asing tetap
dipaksa untuk pulang kembali ke tanah airnya.
Dan sejak berkuasanya Kaum Wahabi itulah Arab Saudi
melarang kegiatan belajar mengajar untuk ajaranajaran lain termasuk Ahlussunnah
Waljama’ah, sekaligus pengajaran kitab kuning. Yang diperbolehkan hanyalah
pengajaran dan pengembangan ajaran Wahabi. Konon H. Djazuli dan kawan kawannya
ditangkap oleh pihak keamanan di Madinah dan dipaksa untuk pulang lewat
pengurusan konsulat Belanda. Petugas tak memberi kesempatan untuk berkemas
kemas, pamitan atau mengurus barang, dan kitab kitabnya di Mekkah untuk dibawa
pulang. Hanya kitab Dalailul khoirot yang terbawa pulang. Kitab tersebut beliau
peroleh dari orang yang tak dikenal pada suatu tempat di Mekkah. Konon setelah
beliau tanyakan tempat itu dahulu adalah kuburnya Syekh Ibrahim Attaimiy.
H. Djazuli telah sampai di Jakarta setelah berlayar
berbulan bulan dengan kapal uap. Pemerintah memberikan uang transport dan
sebelum berangkat ke Ploso kakinya mendapat pengobatan terlebih dahulu.
Tak seperti pak haji pada umumnya yang pulang
bahagia d.engan wajah berseri seri memakai jubah, surban, igal dan pakaian
pakaian kebesaran Arab lainnya. H. Djazuli datang tak dapat turun sendiri dari
mobilnya karena kakinya yang masih sakit. Memakai baju deril yang sobek di sana
sini, tak ada sanak famili, yang menjemput ke pelabuhan, karena tak ada orang
yang menyangka ia akan pulang.22)
Semua orang terkejut menyaksikan kedatangannya dan
merasa iba melihat haji baru itu digotong dari mobil yang mengantarnya. Suasana
pilu dan sedih menyelimuti perasaan seluruh keluarga dan tak ada yang kuasa
menahan air mata. Siapa yang tak terharu dan tersayat hatinya melihat
keberangkatannya berbekal derita, di tanah suci dihempas derita yang begitu
susah sampai pulangpun ternyata membawa oleh oleh derita. Tak ada kurma dan air
Zamzam yang dibagi, sedangkan kitab kitab dan barangnya tak sempat dibawa
pulang, semuanya ditinggal di Mekkah. Akan tetapi ia sebenarnya membawa oleh
oleh yang jauh lebih berharga dari segala-galanya yaitu ilmu agama dan haji yang
Mabrur.
Kembali
Ke Pesantren
Berangsur angsur kesehatan H. Djazuli pulih kembali
setelah mendapatkan perawatan dan istirahat secukupnya, akan tetapi bagi H.
Djazuli yang sedari kecil sudah ditempa untuk disiplin dan menghargai waktu,
istirahat dirasakannya sebagai beban mental, disamping itu ia merasakan bahwa
keadaannya yang menganggur telah menambah pemikiran bagi ibunya yang nampak
semakin tua, timbul perasaan tidak enak dihatinya, apalagi telah melihat
saudara saudaranya seperti Mas Iskandar, Zarkasi dan Miftah telah bekerja
sebagai pegawai negeri dan telah berumah tangga dengan mapan, ia tak layak
untuk terus di rumah, walaupun bagi ibunya sendiri tak menganggap apa apa.
Perasaannya ini sangat beralasan karena ia sudah
dewasa dan warisan yang menjadi haknya telah dijual habi untuk haji, ia tak
ingin menjadi beban bagi orang lain. Maka dengan berbekal semangat berangkatlah
ia ke Tebuireng – Jombang setelah pamit dari rtumah dan singgah beberapa lama
mohon izin di mojosari kepada Kyai Zainuddin mertuanya.
Ia memilih Tebuireng karena pada tahun 1923 itu,
walaupun Organisasi Nu belum berdiri nama Kyai hasyim Asy’ari amatlah masyhur.
Murid Kyai Kholil Bangkalan ini dikenal sangat alim ilmu hadits, disamping
Pondok Tebuireng mempunyai nama yang harum karena reputasinya yang banyak
menelorkan tokoh-tokoh Ulama dan Politisi di negara ini.
Tatkala H. Djazuli telah sampai di Tebuireng dan
sowan (menghadap) kepada Kyai Hasyim untuk menyampaikan niatnya akan
mempelajari ilmu terutama ilmu hadits, Kyai Hasyim malah menugaskannya untuk
membaca (mengajar) Tafsir Jalalain. H. Djazuli tak bisa berbuat pura-pura bodoh
di hadapan Kyai Hasyim. Sebab beliau tahu siapa H. Djazuli sebenarya yang tak
lain adalah Mas’udnya Kyai Zainuddin Mojosari. Bukankah nama itu sudah dikenal di
kalangan Pesantren, khususnya Ulama’ ulama’ yang karib dengan Kyai Zainuddin
seperti Kyai Hasyirn.
“Kamu tidak usah
mengaji, mengajar saja disini,” kata Kyai Hasim dengan tegas. Bukan hanya
Tafsir yang ditugaskan kepadanya, tapi dipercaya juga untuk rnengajar di
Madrasah.
H. Djazuli sebenarnya masih menyadari kebodohannya.
Seperti itulah memang sikapnya sampai ia kelak menjadi ‘ulama besar. la selalu
merasa bodoh, merasa baru menguasai setetes ilmu dari samudera ilmu yang tak
ada batasnya. Itulah sebabnya ia selalu merendah dan masih selalu haus sampai
kapanpun. Tugas mengajar yang diembankan kepadanya diterimanya dengan ikhlas
semata-mata sebagai ta’dhim dan ia yakin dari tugas itu dapat dipetik banyak
pelajaran dan pengalaman. lapun menjalankan tugasnya dengan baik, disiplin dan
penuh tanggung jawab.
Kini Kyai Hasyim tidak mendengar cerita dari Kyai
Zainuddin atau orang lain tentang kehebatan Mas’ud, tetapi sudah dibuktikannya
dengan mata kepala sehingga bertambahlah kagum, cinta dan kepercayaan beliau. Konon,
ketika itu baru berdiri Majelis Musyawaroh Riadlotut Tholabah (Majelis
kerjasama antar Pondok Pesantren yang menyelenggarakan seminar seminar tentang
permasalahan agama sesuai dengan konteks yang berkembang). Untuk mewakili
Tebuireng dalam bahtsulmasail (seminar) H. Djazulilah yang dipilih oleh Kyai
Hasyim. Berulang kali ia menghadiri Bahsulmasail diberbagai tempat seperti di
Kenes, Surabaya, Semarang dan sebagainya. Di acara acara inilah ia banyak
bertemu dengan tokoh tokoh berkaliber nasional. Suatu kesempatan yang baik
baginya untuk berkenalan dan berhubungan dengan tokoh masyarakat sehingga
wawasannya dapat berkembang sangat luas. la tidak hanya memiliki wawasan
keagamaan dan keilmuan yang dalam, wawasan berbangsa dan bernegara juga
dikuasainya.
Jelaslah dari derap langkahnya di Tebuireng H.
Djazuli telah menimba banyak ilmu dan pengalamaii disamping ilmu Hadits yang
menjadi tujuan pokoknya. Sebab disamping pengalaman luas di luar Pondok lewat
forurn bahtsulmasail di atas ia terus ditempa dengan pengalaman pengalaman di
dalam Pondok. Mengajar Tafsir merupakan study banding (komparasi) untuk memilih
methode yang tepat dalam memberikan pengajian, sedangkan mengajar di Madrasah
merupakan peluang emas untuk belajar sistem rnanajemen dan methode pendidikan
Pondok yang baik.
Dari
Jombang Ke Tremas Lewat Karangkates
Prestasi H. Djazuli telah membuat banyak pihak
mengacungkan jempol, bahkan banyak orang yang mempunyai anak gadis simpati
ingin menjadikannya menantu. Andaikan Kyai Hasyim Asy’ari waktu itu punya anak
gadis yang pantas dijodohkan, tentu beliau akan mengikat hubungan dengan murid
andalannya yang sudah berstatus duda namun masih muda perkasa (23 th). Akan
tetapi beliau tak berlepas tangan begitu saja, H. Djazuli diarahkannya menuju
seorang sahabat akrabnya yaitu Kyai. Muharrom Karangkates (± 2 km dari Ploso),
Kyai yang tergolong maju saat itu mempunyai anak gadis belia bernama Hannah.
Isianya sekitar belasan tahun, usia yang terlalu kanak-kanak untuk menghadapi
rumah tangga penuh tantangan. Namun dibalik itu Kyai Muharrom sependapat dengan
Kyai Hasyim bahwa H. Djazuli tak boleh dilepaskan begitu saja, yang penting
harus diikat sejak dini.
Karena alasan itulah tak lama setelah pernikahan
berlangsung Kyai Muharrom menawarkan kepada sang menantu untuk kembali mondok
bersama Jufri dan Makki, dua orang kakak iparnya. Sudah pasti H. Djazuli sang
pemburu ilmu yang tak pernah mengenal lelah itu sangat senang mendengar tawaran
mertuanya. Pesantren yang dituju adalah Tremas, sebuah pesantren yang terletak
jauh di pelosok desa di kawasan kabupaten Pacitan yang waktu itu kendaraan
sejenis bendipun tak dapat mencapainya. Untuk sampai kesana orang harus
berjalan kaki beberapa lama. Untuk periode 1894 1934 M. Pondok Pesantren Tremas
diasuh H. Dimyathi adik kandung sekaligus murid Syaikh Mahfudz Attarmasiy.
Pondok Tremas menjadi sangat populer di zaman dahulu karena Kyai Kyainya yang
benar-benar ‘alim, juga dipengaruhi reputasi (nama baik) Syaikh Mahfudz sebagai
‘Ulama kenamaan yang juga muallif (penulis) berpuluh puluh Kitab yang menjadi
literatur di berbagai negara Arab dan Pondok pondok pesantren di Nusantara.
Bahkan beliaulah putra Indonesia pertama yang mengajar di Masjidil Haram
Makkah.23)
Tatkala sowan kepada kyai dalam rangka menyampaikan
niatnya belajar, untuk kesekian kalinya H. Djazuli ditugasan memberi pelajaran.
Bahkan kali ini tidak tanggung tanggung, Kyai Dimyathi menugaskannya untuk
membaca sekaligus tiga kitab yang tergolong tebal tebal. Yang membuat dirinya
grogi adalah ia datang ke Tremas tanpa membawa kitab, sehingga ia memberanikan
diri untuk menghaturkan pada Kyai.
“Maaf saya tidak membawa
kitab”, katanya mengelak, yang langsung dijawab oleh Kyai : “Tidak jadi soal,
nanti bisa pinjam kitab saya”, maka diapun tidak dapat mengelak, mau tidak mau
harus mengajar dengan membaca kitab Kyainya. Dan seperti yang terjadi di pondok
pondok sebelumnya, kepercayaan mengajar ini juga membuat H. Djazuli tak dapat
bersantai seperti santri santri biasa, dia harus lebih tekun. Mempengnya yang
tak pernah surut membuktikan betapa cintanya kepada ilmu, melebihi cintanya
kepada yang lain. Seolah olah ia telah berjanji setia kepada ilmu my love just
for you, sehingga ia melupakan pelukan istrinya, agaknya Iezatnya madu ilmu
melebihi nikmatnya bulan madu.
Di Karangkates Kyai Muharrom beserta istrinya dan
Hannah putrinya menunggu dengan sabar. Sungguh kecintaan dan harapan Kyai
Muharrom kepada sang menantu tak dapat diukur, sehingga beliau rela berkorban
apa saja, mengalahkan cinta kepada anak kandungnya sendiri. Direncanakannya
Pondok yang besar untuk H. Djazuli yang akan dibangun di areal tanah miliknya.
Kyai Muharrom yakin bahwa masa depan menantunya adalah masa depan agama,
keduniawian tak pemah dipikirkannya.
Akan tetapi lbu Nyai sebagai wanita yang normal
mempunyai pandangan yang berbeda dengan suaminya. Disamping masa depan agama
(Pondok Pesantren), Ibu Nyai ingin memikirkan masa depan dunia bagi pasangan
muda menantu dan anaknya. Beliau yang berasal dari keluarga yang berada ini tak
ingin anak cucunya hidup melarat, sengsara dan hina ekonominya. Jadi kehidupan
dunia sangat perlu dipikirkan disamping kehidupan akherat. Bukankah kita butuh
dunia hasariah, akherat hasanah?. Adalah sangat wajar kalau beliau memikirkan
masalah ini sebagaimana pandangan wanita pada umumnya yang terkadang berlebihan
terlalu khawatir akan nasib anaknya, bukan berarti beliau materialis.24)
Perbedaan pandangan yang kemudian menimbulkan
kesalahpahaman itu terus berkelanjutan sampai H. Djazuli dan ipar iparnya
pulang dari Tremas. Bahkan setelah ketiga kader calon tokoh pondok itu
diterjunkan untuk mengajar, kesalahfahaman tadi berkembang menjadi cemburu,
fasalnya pengajian pengajian yang diasuh oleh H. Djazuli selalu mendapat
kunjungan lebih ramai dan antusias dari para santri, mengalahkan kedua putranya.
Hal ini tentu menimbulkan gap (jurang pemisah) yang sulit dihindarkan, walaupun
rumah tangga yang dibina H. Djazuli dan Hannah bisa berlangsung harmonis dan
rukun.
Suatu cobaan berat diterimanya dalam memilih antara
istri tercinta ataukah idealisme perjuangan mengembangkan ilmu, banyak sudah
calon pemimpin kandas ketika dihadapkan pada wanita harta atau kedudukan. H.
Djazuli adalah teladan yang pantas kita tiru, hatinya tak bergeming menerima
tantangan tantangan seperti itu. Dia tetap memilih ilmu, suatu idealisme yang
sudah diyakininya, mengaji dan hanya mengaji, itulah yang terpenting, perkara
lain adalah kecil, perkara rizki adalah anugrah Tuhan semata, itulah prinsip
yang dipegang oleh H. Djazuli dan itu pula pendiriannya, tatkala ibu mertuanya
mengatakan dengan sinis: “Wong isane mung ngaji tok, sing kanggo ngopeni bojo
iku apo … ?”*)
Akhirnya demi kemaslahatan bersama dan kelangsungan
cita cita, H. Djazuli menjatuhkan talaq dengan sangat terpaksa setelah terlebih
dahulu mohon pertimbangan dan restu ibunya di Ploso.
Menjadi
Kyai Perintis Al Falah
Mengemban
Amanah Menebar Ilmu
Dari Karangkates Haji Djazuli Ialu pulang ke Ploso
dengan diikuti seorang santrinya bernama Muhammad Qomar, lucunya santri itu
tidak lain adalah kakak iparnya sendiri yang tak mau berpisah dengannya. Karena
di Ploso ia belum memiliki tempat tinggal, maka ia bersama santri satu satunya
itu tinggal di bilik utara masjid kenaiban. Seandainya yang menjabat naib waktu
itu bukan Bapak Iskandar, kakak kandungnya sendiri mungkin ia tak boleh
menempati bilik itu.
Pertengahan tahun 1924 dari seorang santri dan satu
masjid ini Haji Djazuli mulai merintis pesantren. la meneruskan pengajian untuk
anak anak desa sekitar Ploso yang sudah dimulainya dengan pulang pergi sejak ia
masih berada di Karangkates. Jumlah murid pertama yang ikut mengaji ± 12 orang.
Dengan ikhlas ia membimbing murid-muridnya demi menjalankan amanah yang
dibebankan kepada orang yang sudah memiliki Ilmu. la merasa wajib menyebarkan
ilmunya semata mata karena perintah Allah, bukan karena ambisi ingin menjadi
tokoh yang disegani berpengaruh dan dihormati, apalagi untuk mencari keuntungan
materi. Dibimbingnya santri yang sedikit itu dengan telaten dan penuh kesabaran
lewat sistem sorogan, dibacakannya makna gandul (makna berbahasa jawa dari
kitab kuning ala pesantren) kepada murid muridnya, Ialu disuruhnya murid murid
itu mengulang makna tadi secara bergantian. Dibetulkannya apabila ada yang
salah membaca dengan cara yang baik dan bijaksana, bahkan dengan senang hati ia
menuliskannya di kitab murid muridnya apabila sang murid menyodorkan kitab
beserta pulpen berikut tintanya. Diterangkannya materi pelajaran dan
permasalahan dengan jelas dan tuntas.1)
Semangat yang ditunjukkannya ketika mengajar di
hadapan berpuluh puluh orang ketika masih di Mojosari, Mekkah, Tebuireng,
Tremas dan Karangkates tidak berbeda dengan menghadapi seorang santri di
serambi masjid Dan begitu juga sikapnya ketika mengajar ratusan santri di
kemudian hari. Sungguh ia mengajar bukan untuk sanjungan, namun semata mata
demi perintah Allah.
Itulah rahasia keberhasilannya dan itulah modal awal
satu satunya yang ia miliki. Tak ada modal harta sepersenpun, tak ada sejengkal
tanah, yang dimilikinya, bahkan apa yang hendak dimakan besok pagi saja ia tak
mengerti.
Di saat saat itu ia selalu ingat pesan Kyai
Zainuddin, guru sekaligus mertuanya, “Le ngajiyo! senajan ora duwe santri”.*)
Kata kata itulah yang selalu membakar semangatnya dan tak pernah padam
selamanya. Bahkan. sampai terbawa bawa ke dalam mimpi, seringkali ia bermimpi
didatangi oleh Kyai Zainuddin dan diperintahkan untuk mengajar ngaji.2) Dan di
suatu malam ia bermimpi menggendong mayat, Ialu tiba tiba mayat tersebut hidup.
Esok paginya ia menceritakan perihal mimpinya itu dan ia melanjutkan : “Jarene
arep hasil sejane” (jadi akan berhasil rencananya), sebagaimana layaknya
kepercayaan orang orang tua tentang ta’bir mimpi menggendong mayat.
Hari demi hari kian banyak orang yang tahu kalau
Mas’udnya Kyai zainuddin alias blawong yang telah melanglang buana memburu ilmu
dari ujung timur di Sidoarjo sampai ke ujung barat di Mekkah kini telah pulang
menebarkan ilmunya di kampung kelahirannya, maka banyaklah anak anak desa
sekitar bahkan dari wilayah yang agak jauh datang ke Ploso mengikuti
pengajiannya.
Di penghujung tahun 1924 itu seorang santri Tremas
bemama Abdullah Hisyam asal Kemayan (± 3 km selatan Ploso) datang bertamu
kepada Haji Djazuli sambil membawa salam dan surat surat dari sahabat lamanya.
Kedua orang yang merasa sama sama satu almamater (seperguruan) di Pondok Tremas
itu beramah tamah sampai lama. Haji Djazuli bertanya tentang gurunya Hisyam,
tentang kitab-kitab yang dikuasainya dan masalah masalah kesulitan yang
dihadapinya. Setelah dialog terasa cukup, Ialu Haji Djazuli melanjutkan,
“Sudahlah! tidak usah mondok ke sana ke mari, tinggal di sini saja ikut ngaji
bersama saya, fainnalhuda hudallah.” “Alhamdulillah”, seru Hisyam dengan suara
datar. Hisyam merasa senang sekali karena kepergiannya ke Tremas satu setengah
tahun yang Ialu sebenarnya ingin mengikuti pengajian Haji Djazuli di samping
Kyai Dimyathi, namun sayang sekali rencananya itu tak dapat terlaksana karena
sesampainya di Tremas Haji Djazuli baru saja boyong (pulang ke Karangkates),
maka Hisyam benar benar lega mendengar tawaran Haji Djazuli daii mantaplah ia
mulai saat itu untuk berguru sambil mengajar membantu gurunya. Konon Hisyam
bukanlah orang yang cerdas tapi berkat ketekunan dan kesabaran Haji Djazuli
membimbingnya ditanmbah kemauannya yang membaja ia mampu tampil sebagai guru
yang berbobot dan merupakan salah seorang pelopor berkembangnya Pondok Ploso di
masa masa berikutnya. Bahkan setelah ia pulang ke kampungnya di dusun Kemayan
ia menjadi Kyai yang cukup disegani.
Haji Djazuli semakin optimis (berbesar hati) akan
berhasil mendirikan Madrasah dan Pondok Pesantren yang punya masa depan
gemilang. Tiba tiba ia dipanggil oleh Kyai Zainuddin, guru sekaligus mertuanya,
maka ia segera berangkat ke Mojosari. Tak pernah diduga sebelumnya Kyai
Zainuddin berkata “Kowe biyen anakku, saiki yo anakku Mulo Pondok iki
(Mojosari) terusno opo dene omahku, sawahku iki mbesok pandumen karo Zaini
(putra angkat beliau).”*) Bak disambar petir di siang bolong, Haji Djazuli
terperanjat di depan gurunya yang dihormatinya sekaligus mertuanya tercinta.
Betipa tidak, ia sudah memiliki kemantapan hati untuk mendirikan Pondok di
Ploso, sementara gurunya menginginkannya meneruskan Pondok Mojosari, suatu
perbedan pendapat yang sulit dipecahkan.
Dengan sangat terpaksa ia menjawab dengan penuh
kejujuran babwa ia sudah mantap untuk mendirikan Pondok di Ploso. Jawaban ini
membuat Kyai Zainuddin kecewa dan marah. Bukankah sejak Haji Djazuli masih
menjadi santri pengabdiannya terhadap Pondok Mojosari sudah ditekankan oleh
Kyai dan agaknya Kyai sangat berharap agar Haji Djazuli benar benar tampil
sebagai generasi penerus pimpinan Pondok Mojosari.
Haji Djazuli pulang ke Ploso dengan perasaan gundah,
hatinya sedih karena telah berani menyakiti perasaan gurunya. la amat khawatir
akan kelangsungan cita citanya tanpa mendapat ridlo dan dukungan dari gurunya
sekaligus ayahnya yang telah berjasa besar dalam hidupnya. Namun apa hendak
dikata perbedaan pendapat tak bisa dihindarkan.
Agaknya permasalahan berat yang dihadapi oleh Haji
Djazuli ini sampai juga ke telinga Kyai Hasyim Asy’ari, sehingga beliau
memerlukan diri untuk menjernihkan permasalahan dengan berperan sebagai
penengah, beliau segera sowan (menghadap) kepada Kyai Mojosari dan menjelaskan
duduk perkaranya dengan penuh diplomatis lagi bijaksana. “Sampun kersanipun
menawi pancen Haji Djazuli kepingin badhe dhamel Pondok wonten Ploso nggih sak
kersanipun”.*) begitu di antara kata yang disampaikan Kyai Hasyim Asy’ari.
Kemudian hilanglah kesalahfahaman Kyai Mojosari dan beliau dapat mengerti serta
akhirnya merelakan kehendak menantunya.3)
Liku
Liku Di Awal 19254)
Hilang sudah keraguan di hati dan mantaplah Haji
Djazuli meneruskan perjuangannya membina dan mendidik murid muridnya. Maka
dengan ucapan Bismillah dan bekal Tawakal dibentuknya sebuah Madrasah. Surat
permohonan pemantauan kepada pemerintah Belanda untuk lembaga baru yang
kemudian dikenal dengan nama Al Falah itu tertanggal 1 januari 1925. Karena
Madrasah tersebut belum punya gedung maka tempat belajamya menggunakan serambi
masjid. Inilah awal keberangkatan Haji Djazuli menjadi seorang Kyai di usia
yang masih muda 25 tahun.
Hisyam sudah enam bulan digembleng oleh Kyai muda,
banyak peningkatan yang diperolehnya dan siaplah ia untuk mengajar di tingkat
yang lebih rendah, maka Kyai Djazuli memerintahkannya untuk mengajar di malam
hari sehabis maghrib membawakan mata pelajaran Sulam taufiq, Risalatul
Mubtadiin dan Bad’ul amali. Jadwal ini hanya berlangsung dua bulan untuk
kemudian diganti waktunya menjadi malam hari dan ternyata setelah enam bulan
berjalan diganti lagi menjadi jam delapan pagi. Begitulah awal perjalanan dari
sebuah perjuangan yang masib harus beradaptasi dengan tuntutan kebutuhan murid
yang dilayaninya. Memang menyebarkan llmu ibarat orang berdagang yang harus
menyesuaikan diri dengan keinginan pembeli agar barangnya bisa laku.
Cerita tentang berdirinya Madrasah sudah terdengar
di kalangan yang lebib luas hingga satu demi satu santri berdatangan dari
berbagai desa dan santri santri yang berasal dari daerah yang jauhpun satu demi
satu menetap di Ploso. H. Ridwan Syakur, Baedlowi dan Khurmen, ketiganya dari
Sendang Gringging ditambah H. Asy’ari dan Berkah dari Ngadiluwih merupakan
santri santri pertama yang menetap. Suasana sudah terasa ramai dan masjidpun
terasa sesak yang menimbulkan permasalahan baru yaitu mendesaknya pengadaan ruang
belajar yang memadai. Direncanakanlah pembangunan sebuah gedung Madrasah.
Dengan segenap tenaga, fikiran dan jerih payah yang tak ternilai, Kyai Djazuli
keliling desa guna mengumpulkan.dana untuk pembangunan tersebut. Beliau harus
mengayuh sepeda berpuluh puluh kilometer sampai Kediri, Tulungagung, Trenggalek
dan terkadang ke Blitar. Namun tak sia sia banyak hartawan dan dermawan
mengulurkan tangan sehingga pembangunan segera bisa dilaksanakan. Akan tetapi
di dunia ini tak ada jalan yang terus mendatar, sebanyak jalan yang menurun
sebanyak itu pula yang mendaki. Begitulah dengan perjalanan awal Al Falah.
Konon bersamaan dengan berlangsungnya pembangunan Madrasah Pak Iskandar kakak
kandung beliau membeli sepeda fongres secara kredit, maka pecandu kesenian,
perjudian dan se)enisnya yang merasa terancam dengan kehadiran Kyai baru itu
benar benar mendapat bahan ocehan dan peluang untuk melancarkan serangan
awal.5)
“Stop sumbangan untuk
madrasah”, kata mereka. “Menyumbang sama saja dengan melancarkan angsuran
kredit,” begitu bunyi fitnah yang disebarkannya, bahkan ada penduduk yang
membelah kayu untuk disumbangkan kepada pembangunan. Di tengah perjalanan kayu
tersebut dicegat dan sebagiannya dibawa kembali.
Kyai Djazuli tetap diam, seperti diamnya di masa
kanak kanak. Kesabarannya begitu tinggi. Akan tetapi fitnah bukannya reda,
justru semakin menusuk hati. Disebarkanlah isu babwa jalannya Madrasah Ploso
itu tidaklah baik, karena gurunya kurang umur, kurang pintar, kurang sholeh dan
sebagainya. Kyai Djazuli masih tenang tenang saja, namun diam diam beliau
mempunyai taktik yang sangat jitu untuk menangkis serangan mereka. Diundanglah
para Kyai dan pemuka masyarakat sewilayah kecamatan Ploso untuk mengadakan
suatu rapat yang berkaitan dengan berdirinya Madrasah. Acara dibuka dengan
pembacaan Al Qur’an oleh Abdullah Hisyam seorang santri beliau yang ditugaskan
mengajar di Madrasah. Tentu saja kemampuan vokal (suara), tajwid dan lagunya
memenuhi persyaratan. Setelah itu Kyai Djazuli memberi sambutan tentang permasalahan
permasalahan yang tengah dihadapi, tetapi sebagian isi sambutan tersebut
memperkenalkan siapakah Qori’ yang penampilannya cukup lumayan tadi. Saya
berani menugaskannya mengajar karena bacaannya sudah bagus, sah untuk dijadikan
imam sholat, tulisannya jelas dapat terbaca dan akhlaknya pun bagus.
“Saya menganggap dia
cukup pantas. Adapun masalah-masalah kekurangan akan saya usahakan untuk
diperbaiki”, begitulah sambutan beliau yang kemudian dilanjutkan dengan
ungkapan sebagai berikut: “Akan tetapi terserah bapak bapak, kalau mengusulkan
untuk diganti, ya saya akan ganti”, serentak hadirin menjawab: “Tidak, tidak
perlu! sudah, sudah bagus”.
Tanpa komentar panjang, tanpa bertengkar apa lagi
bentrokan fisik atau konfrontasi. Kyai Djazuli dengan bijaksana sudah
menyelamatkan perjuangannya dari serangan fitnah, sebab dari hasil pertemuan
itu isu isu negatif sudah tidak bisa mempengaruhi kalangan tokoh tokoh
masyarakat khususnya tokoh agama.
Di tengah tengah badai topan kendala dan rintangan
itu pembangunan terus berjalan dipimpin oleh seorang tukang bangunan bernama
Hasan Hadi. Seluruh santri bahu membahu bergotong royong, begitu juga Kyai dan
Ibu Nyai terlibat langsung sampai pembangunan sudah layak untuk ditempati,
tinggallah semen untuk lantai yang tak terjangkau oleh dana. Tak ada rotan
akarpun jadi, maka dipakailah batu bata merah untuk lantainya, sehingga
Madrasah yang berlokasi di depan Masjid dan terdiri dari 2 lokal itu terkenal
dengan sebutan Madrasah Abang (Madrasah Merah). Peristiwa ini terjadi pada tahun
1927, konon KH. Hasyim Asy’ari berkenan hadir pada acara selamatan/ syukuran
pembangunan Madrasah tersebut, suatu peresmian yang sangat sederhana.
Lega sudah hati Kyai Djazuli, begitu pula para
santri yang belajar. Mereka merasa tentram dan punya harapan untuk meraih ilmu
dengan sukses dengan tersedianya fasilitas yang kian meningkat, sementara
santri santri baru dari daerah yang jauh terus bertambah. Banyaknya santri yang
menetap sudah tak tertampung lagi di Masjid sehingga timbullah permasalahan lagi
yaitu pengadaan asrama (pondok) tempat bermukim bagi para santri. Maka pada
tahun berikutnya (1928) dibangun pondok yang pertama kali yang diberi nama
pondok D (Darussalam) yang disusul pada tahun berikutnya dengan pembangunan
Pondok C (Cahaya) yang semula diperuntukkan sebagai tempat mujahadah bagi para
santri.
Begitulah sepak terjang seorang ‘Ulama sejati yang
mengajarkan ilmunya semata mata Lillahita’ala Ialu santri datang satu persatu
berkerumun bagai tawon menyerbu gula. Santri itu dilayaninya dengan baik semata
mata karena amanah Allah. Setelah santri santri berdesak desakan
diperjuangkannya Madrasah dan asrama. Kini kita cap beliau sebagai ‘Ulama kuno,
‘Ulama kolot berjuang bagaikan siput tak punya rencana. Tetapi ketahuilah
perjalanan seekor siput, walaupun perlahan tapi pasti. Sangat berbeda dengan
generasi modern yang mendewa dewakan manajemen. Pondok dirancang dengan rencana
matang, Ialu didirikan gedung permanen dengan fasilitas lengkap sembari
memasang iklan di berbagai media. Namun fakta telah bicara, banyak terjadi
gedung sudah mulai retak dan keropos sementara santri santrinya tak kunjung
datang. Suatu bahan renungan bagi pejuang pejuang Pondok Pesantren.
Cinta
Sampai Cita-Cita Tercapai
Masyarakat modern benar‑benar telah mengakui betapa besar peranan wanita
dalam pembangunan. Karena itulah Pemerintah Orde Baru perlu mengangkat seorang
menteri perawan (Peranan Wanita).
Sumbernya memang dari ajaran Islam. Ingatlah bahwa
Nabi Musa a.s. menatap sinar di bukit Tursina tatkala berjalan berdampingan dengan
Safurah, istrinya yang tercinta. Begitu juga tatkala ayat lqro’ (ayat pertama)
Al qur’an diturunkan, Rosululloh SAW. sangat butuh spirit dan dekapan Siti
Khodijah. “Zarnmiltini, zammiltini” (selimuti aku, selimuti aku), sabda beliau
sambil menggigil. Sejarah telah membuktikan babwa sukses yang dicapai para Nabi
dan tokoh‑tokoh
besar tidak lepas dari peranan wanita sang pendamping.
Bagaimana dengan Kyai Djazuli? seorang duda yang tak
henti‑heiitinya
dihempas gelombang cobaan?, rupanya beliau butuh pendamping sebagai teman
berbagi rasa, tersenyum bersama tatkala senang dan teman berunding memecah
aneka problema. Di samping itu beliau berfikir bahwa kelanjutan Pondok
pesantren perlu disiapkan sejak dini dan salah satu cara yang banyak ditempuh
adalah lewat jalur keturunan. Bukankah dari dua kali pernikahannya beliau belum
memperoleh keturunan?
Sebagai warga masyarakat yang supel dalam bergaul
Kyai Djazuli sering beramah tamah dengan Mantri Setjo Atmodjo, seorang mantri
guru (Kepala Depdikbud) yang bertugas di kecamatan Ploso. Pak mantri ini
berasal dari Nglorok Pacitan dan kemudian menikah dengan putri Kyai Imam Mahyin
dari Durenan Trenggalek (keturunan Mbah Mesir bin Mbah Yahudo) semuanya adalah
‘Ulama-’ulama terkenal di zamannya.
Dari Pak Mantri inilah KH. Ahmad Djazuli mendengar
siapa sebenamya Roro Marsinah, seorang janda muda sholehah putri Kyai Imam
Mahyin (adik ipar pak Mantri). Beberapa waktu yang Ialu si dia bercerai dengan
Kyai Ihsan Jampes hanya karena kesalahpahaman. Ternyata perceraian itu membuatnya
tersinggung, karena disamping putri kyai bangsawan, ia punya nasab cukup tinggi
juga punya prinsip atau pendirian yang kuat. Tentu saja wataknya juga tergolong
keras seperti layaknya sifat khas orang‑orang Durenan, dan sejak perceraiannya itu ia lebih
mendekatkan diri kepada yang kuasa merenungkan apa salah dan kekurangan‑kekurangannya sambil
istighfar mohon ampun. Sehari‑hari
ia membaca Al qur’an di pusara Al Maghfurlah Kyai Imam Mahyin, ayahnya yang
meninggal ketika ia masih berusia 17 tahun.6)
Tak pantas kalau kita katakan ia telah patah hati,
namun bagaimanapun jua perceraian itu belum mampu ia lupakan, Kyai lhsan
diakuinya memang ‘alim bahkan di kemudian hari beliau mampu mengarang kitab
Sirojuttolibin sebuah syarah (komentar dan pengembangan) dari Minhajul Abidin
karya Imam Ghozali yang akhirnya kitab tersebut tersebar luas di kalangan ummat
Islam dunia terutama di Cairo dan Baghdad.
Roro Marsinah bertekad tak mau kawin lagi kalau
tidak mendapatkan seorang pria yang mampu menandingi ke’aliman Kyai lhsan.
Ganteng jelek tak jadi ukuran, kaya miskin tak jadi persyaratan yang penting
‘alim, kuat agamanya. Memang begitulah seharusnya pilihan seorang wanita yang
punya keimanan kuat.
Akan halnya Kyai Djazuli sangat mendambakan wanita
yang kuat agamanya syukur kalau nasabnya juga bagus. Perkara keibuan, menarik,
suka humor, langsing, lincah, manis, montok dan sebagainya tak jadi soal. Namun
Kyai muda yang tergolong The have not (ekonomi melarat) itu juga sangat
mendambakan wanita yang tidak materialis.
Tuhan Yang Maha Tahu mendengar jeritan hati kedua
hambanya yang berlainan jenis itu. Dikabulkannya do’a mereka dan diberinya
jodoh. Pernikahanpun berlangsung tanpa didahului masa berpacaran atau masa
saling menyesuaikan diri, tak ada upacara tukar cincin. Memang begitulah kisah
dua pernikahan sebelumnya yang dialami oleh Kyai Djazuli. Bukankah Islam
mengajarkan bahwa cinta kasih akan tumbuh dalam rumah tangga yang sah sebagai
anugerah dari sang pencipta? Jadi Islam mengajarkan pacaran setelah nikah,
bukan seperti yang dilakukan olch anak‑anak
muda yang terbawa arus kebudayaan barat.
Akad nikah dan resepsi pernikahan berlangsung
tanggal 15 Agustus 19307), kedua mempelai sama‑sama mensyukuri jodohnya yang tak meleset dari
idaman semula. Keduanya saling menyelami dan saling menerima segenap kelebihan
dan kekurangan masing‑masing.
Cintapun bersemi, tumbuh perlahan tapi pasti dalam mahligai rumah tangga
sakinah penuh rahmat. Roro Marsinah yang kini telah resmi menjadi Bu Nyai itu
amat memaklumi akan kefakiran suaminya tercinta, oleh karena itu makan tiwul,
gaplek dan sawut dengan lauk sambal kluwak tak mengendorkan cintanya. Dia bukan
wanita mata duitan, ada uang abang sayang tak ada uang abang ditendang.
Dimakannya makanan-makanan bergizi rendah itu dengan perasaan syukur, bukan
keluhan. la sama sekali tak kaget berhadapan dengan kemelaratan, sebab ia telah
ditempa oleh pengalaman hidupnya yang juga penuh derita. Sejak balita usia dua
tahun ibunya telah dipanggil yang kuasa, ia tak sempat bermanja‑manja menikmati kasih
sayang ibunya. Dan beberapa lama kemudian ayahnya kawin lagi sehingga ia yang
merupakan anak kesebelas dan terkecil ini harus mengalami pahitnya sebagai anak
tiri. Dan ketika usianya mencapai tujuh tahun ayahpun menyusul wafat, membuat
hidupnya selalu dalam derita yang berkepanjangan. Walaupun ayahnya banyak
meninggalkan warisan ia agaknya terlalu kecil untuk ikut campur urusan harta
benda, sehingga ia tak mengerti hak miliknya. 8)
Atas dasar persamaan sanggup menghadapi derita
keluarga baru yang dibina Kyai Djazuli dengan istrinya dapat rukun dan damai.
Namun sebagaimana layaknya sebuah keluarga, muncullah permasalahan rumah tempat
tinggal karena tidak mungkin keduanya akan tinggal di bilik masjid kenaiban
itu. Rupanya Bu Sholeh (kakak kandung beliau). merasa kasihan melihat nasib
saudaranya, Ialu diberikannya tempat tinggal bagi pasangan baru itu. Konon
tempat tinggal itu adalah sebuah lumbung yang terletak di kediaman Gus Fu’
sekarang ini. Lumbung itu kemudian dirubah menjadi rumah dengan membuat pintu ala
kadarnya. Sungguh rumah yang sangat jauh untuk dikatakan layak dihuni apalagi
untuk dikatakan sejahtera dari segi bendawi.
Menyesalkah Bu Nyai memilih Kyai miskin itu? Tidak,
malahan sebaliknya dia merasakan suaminya adalah segalanya. Kyai Djazuli dikenalnya
punya prestasi yang unggul di bidang Ilmu, sabar dan pandai bergaul sejak masih
belajar di Pondok, bahkan pernah seperguruan dengan Kyai Ihsan Jampes ketika
berguru kepada Syech Al Aidarus di Mekkah. “Pondok yang tengah dirintis suamiku
harus sukses,” begitu tekadnya dalam hati sambil mengenang masa‑masa Ialunya yang luka.
Sungguh dia wanita yang hebat, mampu mengobati hatinya dengan ibadah dan
fastabiqul khoirot (berlomba‑lomba
dalam kebagusan), bukannya patah hati lalu gantung diri.
Hubungan suami istri Kyai Djazuli semakin hangat
saja setelah Ibu Nyai nampak hamil. Sungguh Kyai Djazuli sangat mengharapkan
untuk segera punya keturunan, oleh karena itulah beliau kelihatan benar‑benar bersyukur ketika
putri pertamanya lahir pada tanggal 7 September 1931. Diberinya nama Siti
Azzah. Anak pertama itu bagaikan kaca cermin, ditimang selalu dan tak jemu
untuk dipandang begitulah halnya Kyai Djazuli. Namun tatkala si mungil putrinya
itu mulai belajar bicara dengan lucu-lucunya pada usia satu tahun Allah menghendaki
lain. Putri itu meninggal dunia yang membuat hatinya menjadi amat pilu.
Andaikan beliau tidak memiliki iman yang kuat niscaya hatinya akan terluka
perih dan sulit untuk disembuhkan.
Satu setengah tahun kemudian lahirlah putra kedua
yang diberi nama Hadziq, maka terobatilah rasa sedihnya karena ditinggalkan
oleh Siti Azzah beberapa waktu yang Ialu. Namun rupanya Allah masih terus
menguji ketabahan hati Kyai Djazuli dan istrinya, putra tersayang yang
dicanangkan untuk menjadi penerus estafet perjuangan itu juga diambil oleh yang
kuasa pada usia kecil 9 bulan. Kembali kesedihan menyelimuti rumah tangganya.
Kyai Djazuli beserta istri tercinta dan putrinya
(Lailatul Badriyah)
Namun Kyai Djazuli dan istrinya tak pernah putus
asa, sambil terus menerus berdo’a kepada Allah SWT. Tatkala ibu Nyai hamil lagi
untuk yang ketiga kalinya, maka dukun bayi yang dipercaya untuk merawat sang
bayi kali ini tidak sembarang dukun. Akan tetapi seorang dukun dari Trenggalek
yang dahulu pernah berperan menolong ketika Ibu Nyai dilahirkan. Dukun ini
menyarankan agar ari-ari si bayi jangan ditanam ke dalam tanah seperti yang
dilakukan terhadap dua bayi yang telah Ialu, mulai bayi ketiga ini dan
seterusnya ari‑arinya
dibanyutkan di sungai Brantas. Sampai soal pemberian nama untuk bayi ketiga ini
diserahkan kepada Kyai lain, maka diberilah nama Zainuddin sekaligus dalam
rangka tafa’ul (agar ketularan) dengan Kyai Zainuddin Mojosari.
Suka dan duka datang silih berganti sebagai
romantika kehidupan keluarga yang membuat Ibu Nyai perlahanlahan dapat
melupakan pedihnya pengalaman masa lalunya. Akan tetapi semangatnya untuk
berkiprah agar Al Falah terus jaya tetap membara, dasarnya bukan lagi yang lain‑lain, tetapi lillahi
ta’ala. Bukankah sebagai seorang istri ia wajib untuk turut berjuang menegakkan
cita‑cita
suaminya sebagai wanita ia ingin menjadi tiang negara sebagaimana yang
ditandaskan oleh Rasululloh SAW dalam haditsnya.
المرأة عماد اللاد واذاصلحت صلحت البلاد واذافسدت فسدت
البلاد
Meskipun telah dikaruniai tiga orang anak keadaan
perekonomian keluarga ini tetap saja miskin papa dan rumah tempat tinggal belum
dimilikinya. Menurut sebuah riwayat pada masa‑masa itu Kyai Djazuli menumpang (Magersari : Jawa)
di rumah pak Iskandar, kakaknya. Rumah itu sekarang menjadi kediaman KH.
Zainuddin Djazuli. Melihat kemiskinan tersebut, sebagai seorang suami yang
bertanggung jawab Kyai Djazuli berkeinginan untuk bekerja mencari nafkah
meredakan derita rumah tangga.
Namun dengan tegas Ibu Nyai menyanggah: “Pun,
Sampean ngaji mawon, kulo sing ngurusi sangu”,*) sejak itulah konsentrasi
mengajar Kyai Djazuli terus meningkat, karena beliau dan pasangannya telah seia‑sekata untuk
mengutamakan keberhasilan Al Falah mengalahkan persoalan-persoalan yang lain.
Kyai Djazuli terus berfikir untuk kemajuan pesantren. Mengajar, matla’ah,
sholat jamaah, sholat sunnat dilaksanakannya dengan istiqomah (ajek, rutin)
sementara istrinya berusaha kecil‑kecilan
untuk memenuhi kebutuhan keluarga, bermacam‑macam usaha telah dijalani seperti berjualan sayur‑mayur di depan rumah,
berdagang kain keliling desa dengan berjalan kaki sambil menggendong
dagangannya ala mbok jamu, membuka warung untuk santri dan usaha‑usaha lain yang halal.
Rumah ini dulu adalah rumah bu saleh disinilah Kyai
Djazuli menumpang
Memang tak seberapa hasil yang diperolehnya, namun
rizki yang halal benar‑benar
punya kadar barokah yang tinggi. Buktinya, rizki yang sedikit itu telah cukup
baginya walaupun dengan menu makanan sangat sederhana. Tiwul, sawut dan
singkoiig rebus tergolong makanan bergizi rendah menurut pendapat umum dan para
ahli gizi, akan tetapi makanan‑makanan
itu tidak menyebabkan kekuatan ibadah keluarga Kyai Djazuli menjadi merosot.
Beban Ibu Nyai semakin terasa berat dengan lahirnya
putra ketiga, keempat dan seterusnya. Di samping memikirkan roda perekonomian
keluarga mencari nafkah banting tulang, beliau juga harus merawat dan membina
putra‑putranya.
Namun sungguh mengagumkan, kesibukan-kesibukan tersebut tidak membuat
perhatiannya kepada Pondok Pesantren menjadi berkurang. Beliau berhati baja,
tidak acuh terhadap perjuangan suaminya, peran aktifnya untuk kemajuan Pondok
tak dapat dibilang kecil. Beliau tahu pasti kalau lonceng tanda pengajian atau
beduk dipukul menyimpang dari jadwal sebenarnya dan tak segan‑segan beliau memberikan
teguran. Ketika suaminya berangkat untuk menjadi imam sholat subuh misalnya,
beliau keluar dari rumah untuk mengontrol santri‑santri yang punya gelagat tidak ikut jamaah atau
membangkong. Dengan gaya khasnya beliau menegur dengan pertanyaan “Nyapo nggak
jamaah?”*) Tentu saja si santri tak dapat menjawab karena sungkan dan grogi,
maka beliau melanjutkan dengan kata‑kata
“Omahmu kan adoh”**) sebagai nasehat kepada santrinya.
Masih soal disiplin Ibu Nyai, para Ustadz yang
bertugas mengajar di kelas atau yang membantu mengasuh pengajian merasa sangat
kesulitan untuk libur mengajar. Apabila ada Ustadz terdengar akan libur, beliau
Ialu memanggil yang bersangkutan untuk ditanya model interogasi “Nyapo libur?”
***)tanya beliau seolah‑olah
ingin tahu. Jika jawabannya adalah karena tidak enak badan, langsung beliau
berkata : “Ta gaeno jamu, ben waras”****), sambil berlalu untuk mengolah ramuan
jamu jawa. Setelah minum jamu sang Ustadzpun merasa sungkan dan malu, hingga
akan memaksakan diri untuk menjalankan tugasnya.
Beliau faham siapa diantara para ustadz yang
tergolong malas, maka beliau sendiri yang aktif memukul Ionceng pada
jadwal-jadwal ustadz yang bersangkutan. Dan tidak hanya sampai di situ peran
aktifnya untuk Al Falah. Bahkan beliaulah yang menjadi bagian keuangan Pondok
yang mengurus anggaran belanja, semua itu dirangkap oleh beliau untuk lembaga
Al Falah yang masih muda, di saat organisasi Pengurus Pondok belum teratur.
Beliau terjun langsung berfikir dan bekerja sebagai pengurus, terkadang
melakukan tugas keamanan, terkadang sebagai bagian keuangan.9)
Jarang ditemui Bu Nyai semacam itu, yang tidak hanya
membantu suami di garis belakang (kasur, sumur dan dapur). Tetapi tampil
mendamping suami di garis depan sebatas kodratnya sebagai wanita, tidak sampai
mengalahkan suami dengan dalih emansipasi. Jasanya untuk Al FaIah hanya Allah
yang mampu menghitungnya. Maka pantaslah kalau kita panggil namanya Ummul
Ma’had. Bersama beliau cinta tergapai dan bersama beliau pula cita‑cita tercapai.
6) Cerita Mbah Munaris kedawung, dan cerita Mbah
Nyai H. Rodliyah Djazuli kepada Pak Musleh.
7) Stanboek asal osoel dikeluarkan oleh Pemerintah
Belanda.
8) Cerita Ibu Nyai Hj. Lailatul Badriyah Djazuli.
*) “Sudahlah, Bapak ngaji saja, saya yang mengurusi
biaya”
*) “Mengapa tidak jamaah”
**) “Rumahmu kan jauh”
***) Mengapa libur?”
****) “Saya buatkan jamu biar sehat”
9) Cerita KH. Miftahul Ma’na Blitar
http://islamtradisionalis.wordpress.com/category/tokoh/biografi-kh-ahmad-djazuli-utsman/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar