Sabtu, 26 Mei 2012

Peluang dan Tantangan NU







Judul Buku : NU Untuk Siapa? Pikiran-Pikiran Reflektif Untuk Muktamar NU Ke-32
Penulis : Prof. Dr. H. Ali Maschan Moesa, M.Si
Editor : Ach. Syaiful A’la
Penerbit : Pesantren Luhur Al-Husna, Surabaya
Cetakan : I, Pebruari 2010
Tebal : xv+65  Halaman
Peresensi : Rangga Sa’adillah S.A.P.*
Berbicara masalah NU tidak lepas dari proses panjang berdirinya, maksud dan tujuan organisasi keagamaan dan kemasyarakatan (jam'iyah diniyah ijtima'iyah) terbesar di belahan bumi khususnya di Indonesia, yang motori oleh KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbullah, dengan semangat awal yakni mendirikan Kebangkitan Bangsa (Nahdlatu Wathan), kemudian Kebangkitan Pengusaha (Nahdlatut Tujjar), dan artikulasi pemikiran (Tashwirul Afkar). Ketiga hal tersebut merupakan tiga pilar berdirinya Nahdlatul Ulama.
Dalam sejarah perkembangannya, NU tidak bisa diremehkan hanya sebagai organisasi keagamaan yang berbasis kemasyarakatan. Kontribusi-kontribusi NU yang didarmakan untuk bangsa ini cukup besar. Pada masa awal kemerdekaan NU mampu memberikan sumbangsih pemikirannya dalam perumusan Pancasila sebagai dasar Negara. Melalui resolusi jihad dari KH Hasyim Asya’ari, tentara sekutu yang hendak mengusik keutuhan NKRI berhasil diusir oleh pejuang-penjuang dari kota Pahlawan (Surabaya).
Era Orde Lama, NU mempertegas wujudnya dalam ranah kepemerintahan dan kebijakan-kebijakan yang bersifat konstruktif. Seperti penggagasan berdirinya Masjid Istiqlal oleh KH A. Wahid Hasyim, selaku Menteri Agama saat itu, dan disetujui oleh Soekarno. Penggagasan pendirian IAIN oleh KH Wahib Wahab. Realisasi penerjemahan Al-Qur’an kedalam bahasa Indonesia pada masa Depag dipimpin oleh menteri dari NU, Prof KH Syaifuddin Zuhri. Penyelenggaraan Musabaqah Tilawatil Qur’an diprakarsai oleh Menag dari NU, KH. M. Dahlan. Tegas kiprah NU pada saat itu tidak bisa dianggap remeh.
Ketika rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, NU lebih berkiprah pada pengembangan masyarakat tingkat bawah (grass root) untuk menciptakan civil society. Juga pada rezim inilah terlahir konsensus untuk kembali pada khittah 1926 melalui muktamar NU ke-27 di Sukorejo Situbondo, tahun 1984. Inti dari Khittah adalah keinginan untuk kembali pada semangat perjuangan awal, menjadi ormas sosial keagamaan. Keputusan penting lainnya adalah NU secara formal menerima Pancasila sebagai asas tunggal atau landasan dasar NU.
Sampai pada meletupnya reformasi yang pada era itu merupakan kemengan bagi warga nahdliyin. Gus Dur berhasil terpilih sebagai presiden RI ke-4 melalui kendaraan politik Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang mana kendaraan tersebut aspirasi warga nahdliyyin. Melalui Gus Dur sebagai Presiden tentu saja banyak sekali kontribusi yang disumbangkan terhadap bangsa ini. Kita lihat sendiri, testimony dari mayoritas khalayak memberikan laqab kepada beliau sebagai guru bangsa.
Namun, disisi lain, lahirnya PKB banyak yang mempertanyakan eksistensi Khittah 1926. Melalui buku NU untuk Siapa? Pikiran-Pikiran Reflektif untuk Muktamar NU ke-32, KH. Ali Maschan Moesa, menjawab bahwa jika NU membidani lahirnya sebuah partai politik, itu sebagai perantara untuk mewadahi warga yang ada kepedulian terhadap politik praktis dan bukan berarti NU melanggar tatanan khittah. NU melanggar khittah jika secara institusional terikat oleh organisasi politik tertentu (hlm. 1). 
Jika NU pada masa Orde Lama berkontribusi aktif terhadap eksistensi NKRI, kemudian pada rezim Orde Baru mentransformasikan wujudnya untuk menciptakan civil society dan melahirkan konsensus untuk berkhittah, maka bagaimanakah wujud NU pada Muktamar ke-32 yang akan berlangsung dekat ini?
Melalui buku ini, pembaca bisa melihat lebih jauh tentang apa yang harus dilakukan NU kedepan. Misalnya kita bisa membaca tantangan-tantangan NU (mulai tantangan agama, tantangan ekonomi, tantangan hukum, tantangan politik, tantangan ilmu pengetahuan, tantangan degradasi alam). Problem yang sedang dihadapi NU (Problem sumberdaya manusia, sumberdaya dana dan problem organisasi), Kekuatan-kekuatan NU (mempunyai kekuatan kiai dan pesantren, dana besar, banyaknya anggota), serta bagaimana men-design langkah-langkah yang harus ditempuh oleh NU kedepan.
Lain dari tersebut di atas, ada empat tantangan yang tidak kalah menariknya yang sedang dihadapi oleh organisasi Bintang Sembilan saat ini. Pertama, tantangan yang datang dari jurus kanan, yaitu merebahnya faham fundamentalisme dan radikalisme yang tidak bisa difahami secara utuh oleh warga NU. Kedua, tantangan dari sebelah kiri yang merupakan pemahaman keagamaan secara liberal yang hingga kini justru banyak diminati oleh kalangan muda NU itu sendiri. Ketiga, adalah tantangan yang datang dari atas, dalam hal ini kuatnya represi penguasa dalam politik praktis, dan yang terakhir – keempat – adalah tantangan dari bawah ditandai dengan semakin rendahnya loyalitas warga NU terhadap kiainya yang terkadang juga kalau kita lihat diinternal pun terjadi pertarungan para elit-elitnya. Ketika para elit mulai berkomplik dan kemudian akan diikuti oleh pengikutnya, maka tidak mustahil akan terjadi split personality yang tidak lama kemudian akan mengancam terhadap eksistensi jam’iyyah  dan atau bahkan jama’ah yang ada.
Maksud hadirnya buku ini diruang pembaca, ke depan (pasca muktamar) NU diharapkan mampu memberikan problem solving terhadap persoalan-persoalan yang tengah dihadapi bangsa seperti persoalan ekonomi, sosial, politik, dan pendidikan. Yang kalau tilik sejarahnya perkembangan bangsa Indonesia, NU tidak pernah absen untuk selalu aktif berperan bersama-sama dalam menyelesaikan persoalan yang tengah dihadapi bangsa.
Setidaknya NU dalam keadaan apapun dan bagaimanapun harus diposisikan sebagai jam’iyah diniyah yang memiliki kepedulian bagi semua pihak. Dengan ungkapan lain NU (Nahdlatul Ulama) untuk NU (Nahdlatul Ummah). Kebangkitan ulama pada dasarnya untuk membangkitkan dan mengentaskan ummatnya dari segala kesusahan dan kemelaratan. Selamat membaca! Sukses Muktamar NU ke-32 kali ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar